Bab 9. Keruh

303 26 0
                                    

Bab 9. Keruh

"Baiklah kalau kamu tetap tidak mau mengatakan yang sebenarnya, Ibu tidak akan memaksa." Indana mencoba menarik ulur agar Arasha tidak merasa dipaksa.

"Kapan saja kamu siap, Ibu akan mendengarkannya," lanjutnya lagi.

Anak remaja semakin dipaksa malah semakin tidak mau. Selain itu, Indana ingin memberikan kesempatan pada Arasha untuk berpikir dan meregulasi emosinya. Arasha mulai bersikap rileks, meski masih terlihat enggan untuk mengatakan sesuatu.

Kemudian Indana memanggil Cindy untuk masuk kembali ke ruang BK.

"Kalian berdua tetap akan ibu beri sanksi point pelanggaan tata tertib karena sudah berkelahi di sekolah," kata Indana.

Cindy terlihat tidak senang dengan kabar itu, sedangkan Arasha tampak santai saja menerima keputusan Indana.

"Saya mau Arasha minta maaf secara tertulis, Bu," kata Cindy yang membuat Arasha meradang.

"Apa? Nggak kebalik kamu ngomong gitu? Harusnya kamu yang minta maaf sama aku, Cin." Arasha tidak terima dengan permintaan Cindy.

"Kamu sendiri udah ngaku kalau ngejambak aku duluan, kan? Masih bagus aku cuman nuntut kamu buat minta maaf," ucap Cindy tak mau kalah.

"Astaga. Nggak usah playing victim, deh. Kamu tahu banget kenapa aku ngejambak rambut kamu duluan."

Menyaksikan perdebatan sengit anyara Arasha dan Cindy, Indana segera melerai sebelum aksi jambak terulang lagi.

"Sudah! Hentikan!" seru Indana berusaha melerai mereka. Indana menatap tajam pada mereka.

"Masalah ini tidak akan pernah selesai jika begini terus," ujar Indana.

"Ibu akan kirimkan surat panggilan untuk orang tua kalian."

Mendengar itu, Arasha mendongak memandang Indana.

"Kenapa harus panggil orang tua segala, Bu?" tanya Arasha dengan wajah cemas.

Indana dapat melihat kalau Arasha memang agak sedikit lebih sensitif sehingga mudah terpancing emosinya.

"Ini sudah prosedur sekolah kita jika ada siswa atau siswi yang berkelahi," jelas Indana.

Indana menangkap ada keresahan pada Arasha.

"Ya, jelas Arasha nggak mau, Bu. Orang tuanya nggak ada, dia kan tinggal sama neneknya," timpal Cindy seperti biasa tanpa diminta.

Lagi-lagi Arasha menatap nyalang ke arah Cindy, kemudian melengos. Indana sudah memperhatikan sejak tadi bahwa Arasha selalu tidak nyaman jika berkaitan dengan orang tua.

"Tidak apa-apa, tidak harus orang tua kandung, siapa saja boleh selama dia memang yang dipercaya sebagai wali siswa," ucap Indana berharap kata-katanya mampu menenangkan Arasha.

Benar saja Arasha terlihat lebih lega mendengar penjelasan Indana.

"Ini. Silakan kalian serahkan ke orang tua masing-masing atau ke wali kalian." Indana menyerahkan surat yang sudah ia buat pada Arasha dan Cindy.

Cindy menerimanya dengan wajah tanpa beban. "Sudah boleh ke kelas, Bu?"

"Silakan, Cindy. Kamu juga Arasha silakan kembali ke kelas."

Arasha mengangguk pada Indana lantas keluar ruangan tanpa bicara sepatah kata pun.

Setelah kepergian dua siswinya, Indana termenung memikirkan Arasha. "Jika memang orang tua Arasha tidak ada, selama ini siapa yang mengantar jemput ia ke sekolah?" Indana bicara dengan dirinya sendiri.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang