Bab 7. Kisruh

315 25 0
                                    

Bab 7. Kisruh

Terbiasa makan sendiri membuat Indana merasa aneh ketika tiba-tiba ibunya ikut duduk di meja makan saat sarapan.

"Maafkan Ibu, ya, Na. Semalam pulang larut. Ada banyak yang harus disiapkan menjelang pemeriksaan audit," ucap Hesti, Ibunya, sambil mengoles roti tawar dengan selai kacang.

Hesti memang dipercaya memimpin salah satu perusahaan distributor bahan kue yang ia miliki bersama rekan bisnisnya. Berdasarkan kabar yang Indana dengar dari ayahnya, lelaki yang menjadi selingkuhan ibunya adalah manajer operasional di bawah pimpinan ibunya.

"Nggak apa-apa, Bu, sudah biasa juga sendirian di rumah," jawab Indana datar.

Hesti tampak tak terpengaruh dengan jawaban dingin Indana, ia sudah terbiasa dengan sikap putrinya itu. "Hari ini mau Ibu anterin ke sekolah?" tanya ibunya sambil memanggang roti.

"Memangnya Ibu nggak ke kantor?" Indana meneguk susu kambing yang sudah dibuatkan Bi Surti untuknya.

Indana memang terbiasa makan sarapan hanya berupa roti dan susu. Bukan bermaksud sok bule, tapi kalau makan nasi ia akan mengantuk sampai di sekolah. Mungkin ini juga hasil dari kebiasaan yang sudah dijalaninya sejak kecil, ibunya selalu memberinya roti selai, telur rebus ayam kampung dan susu.

Bau harum roti yang dipanggang menguar saat Hesti membuka pemanggang. Ia mengambil rotinya dan menyerahkan pada Indana.

"Ke kantor, tapi Ibu ada urusan dulu ke Bank. Ibu bisa anterin kamu dulu kalau kamu mau," jelas Hesti.

Indana mengunyah roti panggang yang dibuatkan ibunya. "Ooh, ya udah kalau gitu, oke."

Berangkat ke sekolah dengan ikut mobil ibunya akan mempersingkat waktu perjalanan, ketimbang naik bus trans.

"Habiskan dulu sarapan kamu, biar Ibu siap-siap dulu," ucap Hesti, kemudian beranjak dari kursi menuju kamarnya.

Indana mengangguk dan tersenyum menatap ibunya yang kini menghilang di balik kamar. Sesekali berangkat bersama ibunya tidak apa-apa, pikirnya. Tidak dimungkiri kalau ia juga merindukan saat kebersamaan dengan ibunya. Sejak peristiwa yang menyakitkan hatinya dulu, hubungan Indana dan ibunya menjadi renggang. Tidak ada lagi saling berbagi cerita berdua. Tidak pernah lagi jalan-jalan ke Mal berdua. Indanalah yang sengaja menjaga jarak meski sudah tidak semarah dulu. Memang ia sudah memaafkan ibunya, tapi bukan berarti sudah menerimanya. Tidak mudah bagi Indana untuk melupakan apa yang sudah terjadi.

Bukan sebuah kebetulan, ibunya berlalu dari mejamakan kamar, lantas ayahnya datang dari kamarnya sendiri. Ayah Indana menempati ruang kerja yang dibuat menjadi kamar tidur oleh ayahnya. Indana heran kenapa ayah dan ibunya tidak bercerai saja, daripada hidup serumah tapi tetap terpisah. Indana belum berani bertanya karena Indana merasa itu urusan mereka, kesepakatan yang mungkin mereka anggap terbaik. Mungkin jika waktu dan kesempatan ada, Indana akan menanyakan hal itu pada salah satu dari mereka.

"Belum berangkat, kamu?" tanya Surya, ayah Indana yang mendekat ke meja makan dan duduk di kursi sebelah Indana.

"Belum, Yah. Bentar lagi, nunggu Ibu." Indana memperhatikan ayahnya melihat seperti apa reaksinya.

"Tumben, Ibu kamu mau anterin."

"Mau ke Bank katanya, jadi sekalian antar aku dulu."

Hening. Tidak ada jawaban lagi dari ayahnya. Mereka berdua makan dalam diam hingga selesai.

***
"Na, kamu sudah ada gantinya Raka?" tanya Hesti pada Indana saat mereka sudah dalam perjalanan.

Raut wajah Indana berubah. Ia tidak suka jika sudah membicarakan tentang pasangan, terlebih lagi jika dikaitkan dengan Raka. Mendengar nama mantan tunangannya itu saja masih terasa nyeri di hati.

"Kenapa Ibu tanya begitu?" Indana berusaha menjawab dengan santai dan menahan emosi yang nyaris bergejolak.

"Yaa, wajar kan kalau Ibu tanya. Ibu nggak mau kamu masih belum terima kenyataan dan sedih berlarut-larut," jawab ibunya.

Sontak jawaban ibunya memancing emosi Indana yang coba ditahan sejak tadi. "Siapa yang belum terima kenyataan? Dan aku nggak sedih berlarut-larut, Bu. Kalau sampai sekarang aku belum punya calon lagi itu bukan berarti karena aku masih sedih dan belum move on."

Indana menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat, berharap bisa melepaskan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

"Aku hanya masih belum bisa membuka hati lagi di saat kepercayaanku akan kesetiaan dan komitmen sudah hancur. Butuh waktu untuk membangunnya lagi, Bu. Sayangnya orang-orang di sekitarku justru semakin memperkuat ketidakpercayaanku akan sebuah hubungan," lanjut Indana sambil melirik pada ibunya.

Hesti hanya terdiam dan berusaha fokus mengemudi. Ia paham siapa orang-orang yang dimaksud oleh Indana, termasuk dirinya.

"Ibu minta maaf kalau kamu tersinggung, Ibu hanya khawatir sama kamu. Ibu dengar Sasti akan segera menikah berapa bulan lagi, Ibu takut kamu makin sendirian kalau Sasti sudah menikah."

Wajah Indana sedikit melunak setelah mendengar penuturan ibunya. Sasti memang akan segera menikah dalam waktu dekat. Indana juga paham pertemuan mereka pasti akan tidak sesering seperti sebelum menikah.

"Ibu nggak usah khawatir, kan sudah kubilang aku biasa sendiri. Lagian aku yakin pernikahan Sasti nanti nggak akan memutus persahabatan kami. Aku juga masih punya teman yang lain." Walaupun tidak ada yang sedekat seperti Sasti.

"Syukurlah, kalau begitu. Kamu sendiri juga sudah harus mulai memikirkan untuk membuka hati, Na."

Indana tidak habis pikir pada ibunya. Baru saja tadi Indana menjelaskan kalau ia masih butuh waktu untuk membuka hati lagi.

"Sudah fitrahnya manusia itu diciptakan berpasangan. Aku juga ingin suatu saat nanti menemukan seseorang yang benar-benar cinta dengan tulus, setia pada komitmen dan menua bersamanya," ungkap Indana, pandangan matanya menerawang ke jalanan di depan.

"Ibu doakan kamu akan menemukan pasangan yang terbaik, seorang lelaki yang cinta dan menyayangimu tulus. Seorang yang menjadikan kamu ratu baginya, seseorang yang bisa menjadi tempat bersandar sekaligus sahabat sejiwa."

Indana mengernyit heran menatap ibunya.

"Kamu tidak salah dengar. Ibu mungkin tidak pantas mengatakan seperti itu, tapi seburuk apa pun seorang Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya."

Indana tersenyum. "Terima kasih, Bu. Ibu bukan lagi curhat, kan?"

Hesti menoleh pada Indana dan tersenyum. Sejenak Indana menangkap kesedihan di mata ibunya.

"Susah mengatakannya, lagipula Ibu nggak mau nanti dianggap pembenaran atau pembelaan diri atas kesalahan Ibu dulu."

Indana ingat kata-kata yang ia lontarkan pada ibunya dulu. Tapi, memang begitu di mata Indana, yang namanya selingkuh tetap kesalahan yang fatal.

Sebenarnya Indana ingin menanyakan kelanjutan ayah dan ibunya, tapi Indana tidak bisa bertanya lebih jauh karena mereka sudah sampai di dekat sekolah.

Indana turun dari mobil ibunya setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Setelah mobil ibunya melaju kembali, Indana berjalan menuju gerbang sekolah. Sebelum Indana sampai di gerbang sekolah, Ia melihat sebuah mobil hitam yang pernah dilihatnya. Ia melihat Arasha turun dari mobil tersebut. Indana hanya mengangguk saat Arasha menyapanya dan berjalan mendahuluinya. Dari sudut matanya Indana tahu siapa lelaki yang mengantar Indana, masih lelaki yang sama.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang