Bab 28. Resah

208 12 0
                                    

Bab 28. Resah

Ditolak adalah hal paling menakutkan bagi seorang laki-laki. Itu juga yang dirasakan Elang. Sudah beberapa hari ia menyiapkan mental dan meminta saran pada orang yang terpercaya untuk melaksanakan niatnya menjalin hubungan serius dengan Indana. Rencananya, Elang akan mengungkapkan perasaannya di hari ulang tahun Arasha kemarin.

Rencananya nyaris terlaksana, diawali ia membawa Indana ke kafe tempat pertama kali mereka bertemu.  Sayangnya, tepat sebelum Elang akan mengungkapkan perasaannya, Indana mendapat telepon bahwa ibunya masuk rumah sakit. Tidak mungkin baginya memaksa Indana tinggal sebentar untuk mendengarkannya. Ia sadar bukan waktu yang tepat untuk tetap melanjutkan niatnya.

Akhirnya, Elang pulang setelah mengantar Indana ke rumah sakit dengan perasaan yang masih terpendam.

"Tidak apa-apa masih banyak waktu. Lebih baik menunda sampai waktunya tepat," Nuri mencoba menghibur Elang saat mereka sedang berbincang berdua di rumah.

Kakak perempuan Elang memang belum kembali ke Jakarta.

"Semoga masih ada kesempatan, ya Mbak," ujar Elang seakan tidak lagi merasa optimis.

"Jangan pesimis gitu, donk. Toh, Indana bukannya mau pergi ke mana, dia cuman lagi butuh waktu untuk menemani ibunya yang sakit," sahut Nuri.

"Iya, Mbak. Tapi, Indana belum menghubungiku sampai sekarang." Sudah dua hari sejak terakhir kali mereka bertemu, Elang belum menerima kabar dari Indana. Hatinya gelisah, tapi juga tidak berani menghubunginya.

"Harusnya kamu hubungi dulu, sekiranya telepon nggak enak, ya WA aja," saran Nuri pada adiknya itu.

Sejujurnya Elang pernah menghubungi Indana, tapi sampai sekarang Indana sama sekali belum membaca apalagi membalas pesan yang ia kirim.

"Indana sedang fokus menjaga ibunya, kemungkinan chat Mas Elang udah tenggelam. Apalagi kalau ada grup aktif udah deh chat pribadi bakalan turun terus," kata Sasti saat Elang menanyakan kabar Indana kemarin.

Setidaknya Elang tahu kondisi Indana baik-baik saja. Meski kata Arasha, Indana tidak berangkat mengajar ke sekolah karena cuti.

"Lang, gimana kalau kita tengok aja, yuk, hari ini. Kita datang barengan bertiga sama Arasha sekalian," usul Nuri.

"Boleh, yuk. Sebentar lagi jam besuk buka. Kita siap-siap kalau gitu," sahut Elang yang segera beranjak untuk berganti baju.

Nuri segera memberitahu Arasha yang sudah pulang sekolah.

***
"Terima kasih Mas, Mbak dan Arasha sudah repot-repot datang ke sini," ucap Indana saat Elang datang bersama Nuri dan Arasha.

"Sama-sama, nggak repot, kok. Semoga Ibu kamu cepat sembuh, ya," sahut Nuri.

Indana tersenyum kecil. "Terima kasih, Mbak. Sayang, Ibu sedang tidur. Nanti saya sampaikan kalau kalian datang menjenguk," ujar Indana

"Tidak apa-apa, yang penting bisa ketemu kamu. Ada yang kangen tuh," sahut Nuri sembari melirik pada Elang.

"Nggak usah didengerin, Na," sungut  Elang.

Indana mengangguk sambil tersenyum. Ia memang sedang tidak ingin bercanda tentang perasaan.

"Kami pamit dulu, ya Na. Jangan sungkan hubungi saya kalau butuh sesuatu. Jangan lupa makan dan istirahat, biar kamu juga tetap sehat." Pesan Elang terdengar seperti kekhawatiran di telinga Indana.

"Iya, Mas. Terima kasih sekali lagi. Hati-hati di jalan." Indana menyalami mereka dan melambaikan tangan.

Sepeninggalnya mereka, Indana masih termenung di kursi depan kamar. Ia tahu Elang datang karena mengkhawatirkan dirinya. Indana bukan tidak tahu bahwa Elang mengiriminya pesan penuh kekhawatiran, tapi entah kenapa makin ia dipedulikan makin ia menjaga jarak.

Indana juga tahu gelagat Elang seperti akan menyatakan perasaannya saat mereka di kafe tempo hari. Awalnya kedekatannya dengan Elang terasa mengalir dan tidak menjadi beban. Akan tetapi seiring berjalannya waktu saat Elang menunjukkan niat lebih membuat Indana merasa terbebani.

"Mungkin kamu memang masih belum siap, Na untuk membuka hati lagi. Ibaratnya kamu terlanjur mengunci hatimu dan melemparkan kuncinya entah ke mana," ujar Sasti saat Indana menceritakan kegundahan hatinya ketika Sasti datang menjenguk ibunya kemarin.

"Sampai kapan pun, siapa saja yang datang mengetuk hatimu nggak akan pernah bisa masuk selama kamu masih menguncinya, Na. Kalau hanya tertutup mungkin lebih mudah terbuka, tapi kamu kunci. Kamu menolak bahkan sebelum mereka mempunyai kesempatan untuk menyampaikan perasaannya," sambung Sasti.

"Orang yang nggak tahu perjalanan kisah hidupmu, bakalan menganggap kamu cuman PHP. Mereka akan berpikir gini: Kalau memang kamu nggak punya ketertarikan sama Elang, kenapa seolah kamu menikmati kedekatan dengannya? Tidak menjauh saja sejak awal. Coba kamu bayangkan berada di posisi Elang, Na," ungkap Sasti mengakhiri petuah bijaknya saat itu.

Sekarang Indana gundah memikirkan perkataan Sasti. Tidak pernah sedikit pun dalam pikirannya untuk mempermainkan perasaan Elang. Kalau mau jujur, Indana juga memiliki ketertarikan pada Elang. Namun, lagi-lagi ia tidak tahu mengapa ketakutan itu terlalu kuat hingga mengalahkan perasaan dan logikanya.

"Na, ngapain bengong di sini?" tepukan di pundak Indana membuatnya tersentak. Ternyata kakaknya sudah datang kembali.

"Eh, Mas ngagetin aja. Sejak kapan Mas dateng?"

"Sejak tadi, cukup lama untuk melihat kamu berkali-kali menarik dan mengembuskan napas berat, seolah pikiranmu sedang terbebani sesuatu," terang kakaknya yang membuat Indana tersipu.

"Memangnya kamu mikirin apa sih, sampai dalem gitu," tanya kakaknya.

Indana diam sejenak menimbang sesuatu apakah perlu untuk diungkapkan pada kakaknya. Tidak ada salahnya bertanya pada kakaknya sebagai lelaki.

"Mas, misal nih kamu deketin seseorang sampai kalian jadi deket. Apakah Mas bakalan merasa punya harapan diterima kalau menyatakan cinta pada perempuan itu?" Akhirnya meluncur juga pertanyaan curhat terselubung pada kakaknya.

Indana was-was menanti jawaban Kakanya. Kakak diam sejenak sambil mengamati Indana beberapa saat.

"Ini pendapat kakak, ya. Jelas kakak akan berpikir kalau perempuan itu memiliki perasaan yang sama dengan kakak. Kalau tidak, kenapa ia mau didekati?" Persis seperti apa kata Sasti.

"Misalkan perempuan itu tiba-tiba menjauh saat sedang dekat-dekatnya bahkan lelaki itu sudah berniat mengungkapkan perasaannya, menurut Mas gimana?"

"Berarti perempuan itu hanya PHP dan pasti aku bakal kecewa banget digituin. Kecuali, ada penjelasan yang masuk akal dari perempuan itu kenapa tiba-tiba dia menjauh atau takut berkomitmen." Lagi-lagi penjelasan kakaknya hampir sama dengan apa yang Sasti ungkapkan.

Indana menarik napas dan mengembuskannya cepat. Dilihat dari sudut mana pun apa yang ia lakukan akan menyakiti Elang.

"Saran, Mas sih, Na. Kamu tanya ke diri kamu dengan baik, lalu jaga jarak pandangmu dan lihatlah seberapa besar kamu juga memiliki perasaan yang sama atau justru sebaliknya. Kamu akan tahu beberapa hal, apakah kamu juga memiliki perasaan yang sama atau tidak? Apakah kamu memiliki perasaan yang sama, tapi takut berkomitmen? Atau apakah kamu memang tidak memiliki perasaan yang sama? Setelah kamu tahu jawabannya, otomatis kamu akan tahu perasaanmu dan apa yang harus kamu lakukan," ungkap Kakaknya yang semakin membuka pikiran Indana.

"Mas tahu?" Indana takjub Kakanya bisa tahu bahwa apa yang ia tanyakan adalah tentang dirinya.

"Ya, tahulah, jelas sekali kamu sedang membicarakan tentang dirimu sendiri," ungkap Kakaknya.

Sekarang Indana tahu apa yang harus dilakukannya, sebelum semuanya terlambat, sebelum ada yang tersakiti.

***

PATAHWhere stories live. Discover now