Bab 27. Gundah

207 14 0
                                    

Bab 27. Gundah

Berada di tengah keluarga Elang rasanya sangat menyenangkan bagi Indana. Ia seperti menemukan teman berbagi baru selain Sasti. Hingga waktu tak terasa berlalu begitu cepat.

Setelah acara selesai, Elang mengantarkan Indana pulang. Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan Elang. Toh, Indana memang tidak membawa kendaraan.

"Saya penasaran," ucap Elang saat ia dan Indana sudah ada di dalam mobil.

"Tentang apa?" Indana yang sedang memakai sabuk pengaman menoleh pada Elang.

"Kenapa kamu tidak pernah membawa kendaraan sendiri? Entah itu motor atau mobil?" tanya Elang seraya mengemudikan mobilnya.

"Saya nggak bisa bawa mobil atau pun motor, Mas," ungkap Indana terus terang.

Indana tersenyum maklum saat melihat Elang tampak keheranan.

"Maaf, saya cuma heran. Tolong jangan tersinggung, ya."

Indana tergelak, "Santai saja, hampir semua yang baru tahu reaksinya begitu. Wajar, sih, karena di zaman anak SD sudah bisa kebut-kebutan, eh, saya masih asyik naik kendaraan umum," tutur Indana.

"Boleh tahu kenapa?" tanya Elang semakin penasaran.

"Dulu saya bisa, sejak SMA udah bisa nyetir meski belum punya SIM. Suatu saat di hari Minggu pagi, saya bawa mobil Ayah, rencana mau ke GOR. Di tengah jalan malah nabrak pembatas trotoar sampai penyok bagian depannya.  Saya takut banget waktu itu, gemetar dan lemes banget nggak bisa ngapa-ngapain. Pas ayah dateng bukan saya yang ditanyain kondisinya malah mobilnya. Ayah marah besar. Saya yang sedang gemetar ketakutan hanya bisa menangis, rasanya sakit hati, dan tak berguna. Pengalaman itu terlalu membekas sampai sekarang dan sejak saat itu saya nggak pernah mau nyetir mobil lagi," tutur Indana yang membuat Elang tampak menyesal.

"Oh, maaf. Saya nggak bermaksud membuka luka lama," sahut Elang.

"Nggak apa-apa, Mas, santai saja semua itu sudah berlalu."

"Tapi, nggak apa-apa juga kalau kamu nggak bisa bawa mobil. Saya jadi punya alasan buat antar jemput kamu," ucap Elang dengan wajah datar yang membuat jantung Indana berpacu.

"Siapa bilang saya buka lowongan antar jemput?" sanggah Indana sembari memalingkan wajah ke arah jendela. Ia takut wajahnya terlihat memerah.

"Mungkin kamu belum buka, tapi saya mau daftar biar masuk daftar antri yang pertama."

Indana hanya menggelengkan kepala melihat Elang yang mengucapkan hal-hal yang sarat godaan dengan wajah santai.

"Eh, Na, kita ngopi dulu nggak apa-apa, kan?" tanya Elang.

Indana mengangguk, ia baru sadar kalau arah yang dituju Elang bukan jalan pulang ke rumahnya.

"Boleh. Mau di mana?"

"Di tempat saya pertama kali ketemu kamu." Elang menjawab dengan senyum misterius.

Mau tidak mau Indana mencoba mengingat-ingat di mana pertama kali ia melihat Elang.

Tanpa perlu menunggu lama, rasa penasaran Indana terjawab. Tempat ini masih sama seperti terakhir kali ia datang dulu. Sejak peristiwa itu, Indana tidak pernah lagi datang ke kafe ini.

Indana terpaku di depan pintu, tiba-tiba ia ragu untuk masuk.

"Kenapa? Yuk masuk, tenang saja tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan." Elang tersenyum tulus pada Indana, membuat Indana tanpa sadar membalas senyum itu.

"Atau mau di luar saja? Sebelah sana itu," ucap Elang seraya menunjuk satu tempat duduk kosong.

"Boleh. Sepertinya lebih baik menghirup udara segar. Sebentar lagi juga golden hour," sahut Indana yang memang lebih senang melihat pemandangan terbuka, apalagi senja.

PATAHWhere stories live. Discover now