Bab 17. Cabuh

221 19 2
                                    

Bab 17. Cabuh

Indana berangkat lebih pagi hari ini, sengaja menghindari sarapan pagi bersama keluarganya. Perasaannya masih belum menentu dan ia tidak mau malah berujung ribut di meja makan.

Ia masih tidak habis pikir kenapa orang-orang bisa dengan mudah mempermainkan sebuah pernikahan. Bukankah pernikahan ibarat perjanjian agung dengan Allah? Lalu kenapa dengan mudah mereka saling berkhianat, dengan mudahnya saling meninggalkan. Lalu kemana komitmen yang sudah diikrarkan menguap?

Indana menjadi semakin skeptis dengan yang namanya komitmen dan pernikahan. Lebih tepatnya ia merasa kecewa sakralnya sebuah pernikahan seolah hanya permainan belaka. Indana kembali menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat. Hingga beberapa kali penumpang bus di sebelahnya menoleh.

Setibanya bus yang ia tumpangi turun di halte, Indana melihat Arasha yang diantar oleh Elang. Entah kenapa hatinya yang sejak tadi masih membara tiba-tiba terasa sejuk. "Pasti karena hawa pagi yang dingin masih terasa." Indana mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Selamat Pagi, Bu," sapa Arasha saat Indana mulai mendekat.

Indana menjawab dengan sapaan yang sama sembari mengangguk tersenyum pada Elang. Lelaki berkacamata itu turun dari mobilnya, kemudian menyapa Indana dan berbasa basi sebentar.

Hanya sebatas itu saja, lalu Indana masuk ke dalam pelataran sekolah bersama Arasha.

"Bu Indana suka baca buku, tidak?" tanya Arasha yang berjalan di samping Indana.

Meskipun heran tiba-tiba Arasha bertanya hal itu, tapi Indana menjawab juga, "Suka. Ibu bahkan mengoleksi beberapa buku dari pengarang tertentu. Kenapa?"

"Benarkah? Saya juga suka. Ibu suka genre apa?" Arasha tampak antusias, senyumnya melebar, tulang pipinya terangkat dan sudut matanya membentuk garis kerut.

"Hampir semua genre saya baca, kecuali horor. Tapi kebanyakan romanca metropop sama thriller detektif gitu, sih."

"Wah sama, donk Bu. O ya, Sabtu besok ada bookfair besar-besaran, lho. Kalau Bu Indana tidak sibuk, apakah mau ke sana sama saya? Saya ingin sekali datang, tapi nggak ada teman."

"Saya juga suka tuh kalau ke bookfair, tapi ya itu suka kalap. Lemah saya, tuh, kalau sama diskon buku," jawab Indana sembari terkekeh.

"Jadi bisa, ya, Bu?" todong Arasha memastikan. Raut wajahnya memelas.

Indana tersenyum melihatnya, sudah lama tidak ada yang merengek memintanya ditemani.

"Insyaallah, nanti berkabar lagi saja ya untuk kepastiannya."

"Siap, Bu. Terima kasih sebelumnya. Saya ke kelas dulu." Arasha berlalu dengan wajah ceria.

Indana menatapnya hingga tak terlihat lagi. Ia tersenyum sendiri, senang melihat Arasha tampak cerah wajahnya. Paginya kini lebih baik dari sebelumnya. Ternyata membuat orang lain tersenyum bahagia bisa menular ke diri sendiri juga.

***
"Dokter Elang ikut juga?" tanya Indana saat Arasha datang bersama Elang.

Sabtu yang dijanjikan sudah tiba. Indana dan Arasha berjanji untuk bertemu di lokasi. Bookfair diadakan di Hall lantai 1 Rita Super Mal, jadi mereka janjian di lobi pintu masuk.

"Iya, nih. Follower deh ikutan aja. Bilangnya sih, ada yang mau dibeli," sahut Arasha sebelum Elang sempat menjawab sapaan Indana.

"Iya saya ikut, nggak apa-apa, kan?" jawab Elang yang tersenyum menampakkan giginya yang rapi.

"Nggak, Dok. Santai saja ini juga tempat umum. Siapa saja boleh datang," ujar Indana tersenyum hangat.

"Yuk, kita masuk sekarang," pinta Arasha antusias.

Indana berjalan bersama Arasha di depan, sementara Elang di belakang mereka. Hall lantai satu tempat biasa untuk pameran atau acara tertentu sudah berubah menjadi lautan buku. Mata Indana membelalak penuh semangat.

Hanya dalam hitungan menit mereka sudah asyik bergumul dengan buku-buku. Tenggelam dengan keasyikannya sendiri memilih buku yang diinginkan.

Sementara itu ada sepasang mata yang sedang memperhatikan interaksi mereka bertiga sejak tadi. Menatap dengan masygul pada lelaki berkacamata bingkai hitam.

***
"Ternyata Bu Indana borong juga," ucap Arasha melihat buku-buku yang Indana beli tadi.

Mereka kini ada di foodcourt sedang menunggu pesanan makan mereka datang. Satu jam mereka memutari stan buku-buku, memilih dan membeli yang mereka suka.

Indana sendiri membeli beberapa buku-buku karya penulis Jepang, salah satunya karya Keigo Higashino.

"Iya, kebetulan ada buku wishlist yang sudah lama ingin dibeli. Arasha beli apa?"

"Saya beli Teenlit dan ada juga buku self improvement dari penulis Korea." Arasha menggelar beberapa buku yang dibelinya.

"Kamu suka Keigo Higashino juga?" Tiba-tiba Elang menyela percakapan Indana dan Arasha. Tangan Elang sudah memegang buku Blackshowman yang di beli Indana.

"Kenapa? Dokter juga?"

Elang mengangguk. "Yup! Dan Kesetiaan Mr.X itu favoritku sejauh ini."

Mata Indana berbinar karena senang ada orang lain yang juga memiliki kesukaan yang sama. "Sama. Sejauh ini kesetiaan yang saya percaya ada, itu hanya di dunia fiksi, ya, di novel ini."

Elang mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

"Ya. Cinta platonisnya Ishigami itu benar-benar bukti kesetiaan dia. Definisi cinta dalam diam, tapi langsung aksi nyata. Tragis sekaligus manis. Dan itu hanya ada di novel bukan di dunia nyata," ungkap Indana.

"Bukannya cerita fiksi juga pasti terinspirasi dari cerita nyata? Banyak lagi cinta platonis dan kesetiaan di dunia nyata."

Indana tersenyum miring dan menggeleng. "Saya terlanjur skeptis sama apa yang dinamakan cinta, kesetiaan dan komitmen," Wajah Indana berubah muram.

Elang hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi karena pelayan datang membawa pesanan mereka. Segera mereka disibukkan dengan makanan. Sesekali Elang melirik Indana, ia masih penasaran dengan apa yang Indana sampaikan. Mungkinkah pikiran Indana tersebut disebabkan masa lalunya? Elang bertanya pada dirinya sendiri.

Rasa penasaran Elang harus tertunda bahkan sampai mereka selesai makan. Pasalnya, Indana justru banyak mengobrol dengan Arasha. Mereka kompak sekali membahas apa saja, seolah mereka adalah sahabat sejak lama. Baru pernah Elang melihat Arasha seceria itu seolah wajah murung tanpa senyum hanyalah topeng yang ia pakai setiap hari.

Dua orang yang sama kesepian, introvert ternyata bisa sangat ceria dan banyak bicara saat bertemu orang yang tepat memahami satu sama lain. Elang juga baru mengetahui mereka introvert dari pembahasan mereka mengenai MBTI. Sekarang Elang paham kenapa selama ini Arasha tertutup. Teman dekatnya pun hanya segelintir. Selama ini Elang hanya belum tahu bagaimana masuk ke dunia Arasha hingga mereka susah menjadi dekat secara emosional.

Begitu juga seperti yang Elang lihat pada Indana. Adakalanya Indana seolah ada di dunianya sendiri. Indana juga selalu menampakkan wajah baik-baik saja, tersenyum bahagia sementara itu hatinya tengah bersedih. Sorot matanya tampak muram, tidak ada gairah hidup dan kesepian.

"Kalau Om, apa tipe MBTI-nya?" tanya Arasha tiba-tiba, Elang terkesiap.

"Eh, aku ENFP."

Indana tertegun mendengarnya seolah ada yang aneh dengan tipe kepribadian Elang.

"Oh, pantesan Om pacarnya banyak. Gonta ganti cewek mulu," sahut Arasha tanpa dosa.

"Apa? Eh, Arasha nggak sopan ngomong begitu sama Om." Elang tampak salah tingkah.

Sementara itu, Indana yang menatap Elang intens sempat melihat wajah Elang yang tiba-tiba tegang seolah takut ketahuan.

Indana mendengkus lalu menunduk. Tangan kanannya sibuk mengaduk jus Alpukat di gelasnya. Salah satu minuman favoritnya itu tiba-tiba tidak menggugah selera.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang