Bab 23. Ripuh

195 17 2
                                    

Bab 23. Ripuh

Tidak sulit untuk menemukan lokasi panti asuhan yang dimaksud. Indana menggunakan aplikasi peta melalui internet. Tidak sampai 15 menit mereka sudah memasuki pelataran "Panti Asuhan Kasih Ibu."

Elang memarkir mobilnya di sebelah Masjid yang ada di depan rumah panti tersebut. Ia dan Indana turun dari mobil dan langsung menuju ke bangunan utama.

Seorang perempuan paruh baya mengenakan gamis hitam dan kerudung bergo abu-abu menyambut mereka berdua.

"Assalamualaikum, Bu." Indana menyalami perempuan bertubuh tambun itu.

"Wa'alaikumsalam, dengan siapa dari mana, ya?"

Sepertinya itu adalah pertanyaan standar saat tamu datang ke panti asuhan ini. Memang kebanyakan tamu yang datang ke panti adalah para donatur atau dari instansi tertentu.

"Perkenalkan, Bu. Saya Indana dari sekolah Harapan Bangsa dan ini Elang."

"Panggil saya Puspa, silakan masuk dulu, kita bicara di dalam." Suara penuh lembut penuh wibawa itu mengajak Indana dan Elang mengikutinya masuk ke ruang tamu.

Mereka memasuki sebuah ruang yang terletak di depan bangunan utama. Indana dan Elang duduk di kursi sofa yang sudah pudar warnanya.

"Apakah Ibu adalah guru Arasha?" tanya perempuan paruh baya itu.

Indana dan Elang saling pandang, mereka tidak salah tempat pasti Arasha ada di sini.

"Benar, Bu. Apakah Arasha ada di sini?" tanya Indana merasa antusias.

Alih-alih menjawab, Bu Puspa mulai bercerita, "Sudah dua hari Arasha selalu datang ke sini pagi-pagi. Biasanya dia kalau ke sini sore hari. Makanya kemarin saya tanyakan ada apa. Dia hanya diam lalu menangis, jadi saya izinkan untuk beristirahat di kamar anak-anak. Arasha sering ke sini, jadi mereka semua sudah kenal," jelas Bu Puspa.

"Sekarang di mana Arasha, Bu?" sahut Elang terlihat tak sabar.

"Ada di dalam, sedang membacakan buku pada anak-anak yang belum sekolah."

Indana ingat saat ia dan Arasha pergi ke bazaar buku, Arasha juga membeli beberapa buku anak. Saat itu Indana mau bertanya untuk apa buku-buku anak itu, tapi lupa.

"Alhamdulillah, sekarang kami lega ternyata benar Arasha ada di panti ini. Bisakah kami bertemu, Bu?" tanya Indana pelan.

"Sebentar saya panggilkan," ujar Bu Puspa seraya beranjak masuk.

Tak berapa lama Arasha akhirnya keluar juga menemui mereka berdua. Wajahnya kuyu tak bersemangat.

"Kamu nggak apa-apa, Arasha?" Indana menyambut Arasha dan membawanya ke dalam pelukan.

Bu Puspa sudah pamit masuk ke dalam , memberikan kesempatan pada Indana dan Elang.

"Tidak apa-apa, Bu. Maafkan saya, Om maafin ya, Om." Arasha menangis ke dalam pelukan Indana. Ia tidak perlu bertanya siapa yang memberitahu mereka sampai menemukannya.

Elang trenyuh melihatnya. Berbagai pertanyaan yang sudah ia siapkan di kepala mendadak menguap. Sekarang yang paling penting adalah kondisi Arasha. Elang menghampiri dan bergantian memeluk Arasha. Air matanya nyaris menetes jika tidak ditahannya. Sungguh ia menyesali dirinya sendiri yang tidak tahu apa-apa tentang penderitaan keponakannya itu.

"Om yang minta maaf, Ra." Elang mengusap kepala Arasha. "Maaf karena kurang perhatian sama kamu selama ini. Nggak pernah jadi teman bicara saat kamu butuh. Maaf karena Om nggak peka, ya."

"Jangan ngerasa bersalah, Om. Akunya aja yang sungkan buat cerita. Aku nggak mau jadi beban."

"Siapa yang anggap kamu beban, sih? Kita ini keluarga, sudah semestinya saling menjaga." Elang keberatan dengan kata-kata yang diucapkan Arasha.

Indana yang sejak tadi diam di antara mereka, sedikit banyak paham apa yang Arasha rasakan. Tidak mudah menjadi Arasha, tinggal jauh dari ibu kandungnya padahal tempat paling nyaman untuk bercerita adalah dengan orang terdekatnya. Sayangnya, Arasha yang dititipkan pada nenek dan omnya terlanjur menjaga jarak. Jadi, saat ada masalah tidak merasa nyaman untuk bercerita malah merasa menjadi beban keluarga.

"Dok, biar Arasha duduk dulu. Nanti akan ada waktunya dia cerita."

Indana meraih tangan Arasha dan menuntunnya untuk duduk di sampingnya.

"Kamu udah makan?" tanya Indana. Ia yakin Arasha tidak nafsu makan, tapi gadis itu harus makan agar punya tenaga.

Arasha menggeleng, "Belum, Bu."

Tepat dugaan Indana, sekarang ia harus membujuk gadis yang sedang tertekan itu untuk makan.

"Ibu juga belum makan, temani Ibu makan, yuk! Enaknya di mana, ya, dekat sini. Kamu ada ide?" Sengaja Indana membuat Arasha terlibat memutuskan ke mana mereka makan, agar Arasha tidak merasa dipaksa.

Arasha mendongak memandang Indana, "Gimana kalau ramen saja, Bu? Saya lagi nggak pengen makan, tapi kalau ramen masih oke," usul Arasha.

"Saya oke, seger juga makan ramen. Gimana, Dok, oke?" Indana menoleh pada Elang meminta persetujuan.

"Ayo, aja. Mau ramen yang mana, nih?" sahut Elang.

"Maiko, aja yang dekat rumah sakit tentara itu. Tempatnya lebih luas," sahut Indana.

Elang dan Arasha mengangguk setuju.

"Ya, sudah. Kita pamit dulu sama Bu Puspa," Ujar Indana.

Arasha masuk kembali ke ruang dalam untuk menemui Bu Puspa. Tak berapa lama ia kembali ke ruang tamu bersama Bu Puspa.

"Sudah mau pulang?" sapa Bu Puspa.

Indana dan Elang berdiri untuk berpamitan.

"Iya, Bu. Maaf sudah merepotkan. Terima kasih untuk Arasha," ucap Indana sembari menyalami Bu Puspa.

"Sama sekali tidak merepotkan. Arasha sudah jadi bagian Kasih Ibu, jadi kapan saja dia mau silakan datang. Arasha juga sering bantu-bantu menjaga anak-anak di sini. Saya uang justru berterima kasih kedatangan Arasha," ujar Bu Puspa.

Selesai berpamitan mereka masuk ke mobil.

"Ibu di depan saja, saya yang di belakang," ucap Arasha sembari membuka pintu mobil bagian belakang.

Mobil Elang melaju menuju tempat makan ramen yang mereka sepakati. Perjalanan sepuluh menit di dalam mobil terasa sunyi. Tidak ada lagi yang berbicara, semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara radio yang menghidupkan suasana.

***
"Bu, Karin sudah cerita semuanya?" tanya Arasha selesai mereka makan.

Kedai Mie Ramen ini terbagi menjadi dua bagian ruang dalam rumah dan luar yaitu pelataran yang ditutup kanopi. Di bagian dalam selain beberapa meja makan dan tempat pemesanan, ada juga pojok area bermain anak, seperti mandi bola dan prosotan anak. Di luar ruangan terdapat beberapa meja dengan kursi dan juga lesehan. Indana, Elang dan Arasha memilih makan di meja lesehan yang berada di area terbuka, hanya atapnya yang ditutup kanopi.

"Sudah, tapi ia hanya cerita apa yang dia saksikan, sedangkan apa yang kamu rasakan hanya kamu yang tahu," ucap Indana.

Arasha hanya menunduk sembari memilin tisyu yang ada di meja.

"Ra, kenapa kamu nggak bilang sama Om kalau kamu diperlakukan begitu sama temen-temen kamu? Seharusnya, kamu juga bilang pada Bu Indana dulu," sahut Elang yang duduk di samping Arasha.

"Lapor ke BK, nanti semua dipanggil dan besoknya mereka bakalan dendam dan mem-bullyku lebih parah, gitu maksud Om?" Arasha yang sejak tadi menunduk kini meradang, menatap nanar pada Elang.

Indana dapat melihat ada luka, ketakutan dan tak berdaya di mata Arasha. Elang terbungkam mendengarnya.

"Mereka tuh banyak, Om. Sedangkan aku sendirian. Aku bisa apa buat ngadepin mereka? Selama ini aku memilih diam agar hidupku yang sengsara nggak tambah masalah. Kalau aku laporin, besoknya aku jadi apa? Aku tuh sendirian," ungkap Arasha dengan suaranya yang semakin parau disertai bulir air mata yang menetes.

Indana beranjak dan menghampiri Arasha, membawa gadis itu ke pelukannya. Elang segera bangkit dari duduknya, memberi ruang pada Indana dan Arasha. Ia sendiri memutuskan pergi ke toilet, menghela berbagai rasa berkecamuk dalam dadanya yang terasa menyesakkan.

PATAHWhere stories live. Discover now