Bab 18. Labuh

218 18 2
                                    

Bab 18. Labuh

Sabtu sore masih tersisa. Atas bujukan Arasha, mereka bertiga sepakat untuk menikmati waktu sejenak dengan jalan-jalan mengelilingi Mal. Arasha seolah memiliki energi banyak meski dalam keramain. Ia tidak acuh dengan sekitarnya, baginya di situ hanya ada mereka bertiga. Pikiran itu membantu Arasha untuk tetap gembira dan tidak merasa terintimidasi orang lain.

Sementara itu, Indana sudah mulai lelah, tapi karena tidak mau mengecewakan Arasha ia pun ikut saja. Mood Indana tiba-tiba saja memburuk sejak Arasha mengatakan bahwa Elang sering gonta ganti pacar. Indana tidak habis pikir dengan perasaannya sendiri kenapa harus merasa kecewa mendengar hal itu. Memangnya apa yang salah dengan kepribadian Elang? Mungkin saja Arasha tadi hanya bercanda, bukan? Lalu kenapa moodnya seketika terjun bebas? Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Indana.

Lelah berkeliling, mereka duduk di kedai kopi yang terkenal seantero negeri. Sementara itu, di luar hujan turun dengan deras dan semakin membuat perasaan gloomy di hati Indana. Di mana pun berada, hujan selalu membawa kegalauan tersendiri bagi Indana. Bisa jadi karena kadar serotonin berkurang seiring matahari yang tertutup awan dan hujan.

Indana berpangku tangan dan matanya tak lepas dari jendela, seolah sedang konsentrasi menghitung jumlah hujan yang tercurah.

"Bu, Om. Arasha mau baca, ya, sambil ndengerin musik. Maaf nggak bisa ngobrol, capek," ucap Arasha yang sudah membuka komik Detektif Conan serial terbaru dan tangannya sibuk memasang earphone ke telinga.

Sebenarnya, Arasha sengaja melakukannya agar Elang dan Indana bisa lebih banyak mengobrol. Hal itu tidak disia-siakan oleh Elang. Ia ingin semakin mengenal Indana.

Elang berdehem karena ia melihat Indana masih terhipnotis dengan tetes hujan di luar melalui kaca jendela.

"Indana," panggil Elang perlahan, ia tidak mau mengagetkan Indana.

"Ya?" Indana yang masih berpangku tangan hanya menoleh sedikit.

Elang merasa ragu sejenak, tapi tetap saja lanjut bertanya. Bukan hanya untuk menuntaskan rasa penasaran, tapi juga karena ingin mengenal Indana lebih jauh.

"Melanjutkan yang tadi, saya masih penasaran apa yang membuat kamu merasa skeptis dengan kesetiaan dan komitmen." Setelah bertanya Elang mengambil gelas kopinya dan meminumnya sedikit hanya untuk mengatasi rasa canggungnya.

Indana merasa agak berat menyampaikannya karena pasti akan mengingatkannya pada peristiwa yang lalu. Peristiwa yang menyakitkan dan membuatnya kehilangan tunangan, sahabat, dan sekaligus kepercayaan.

"Itu .... Agak berat sebenarnya, seperti membuka luka lama," ujar Indana.

"Maaf, bukan bermaksud begitu. Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang kamu," ucap Elang yang merasa tidak enak pada Indana.

Mendengar yang elang ucapkan sontak membuat Indana terpana. Sepenuhnya ia menatap Elang.

"Mengenal saya untuk apa?" Indana bertanya datar membuat Elang menjadi salah tingkah.

"Saya nggak tahu akan seperti apa kita ke depan, tapi yang pasti ada keinginan besar dari dalam hati saya untuk lebih mengenalmu," ucap Elang penuh percaya diri.

Indana terbungkam tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya ia juga merasa senang Elang ingin mengenalnya. Namun, sisi hatinya yang lain terus mengingatkan untuk tidak terlena. Bisa saja Elang hanya penasaran dengan dirinya, bukan berarti ada rasa.

Namun entah dorongan dari mana, Indana akhirnya bercerita juga.

"Dulu saya pernah memberikan seluruh kepercayaan dan cinta pada tunangan serta sahabat saya. Sayangnya, justru karena terlalu percaya itulah yang menjadi boomerang bagi saya sendiri. Mereka menghancurkan saya tanpa ampun. Bukan hanya meruntuhkan kepercayaan saya, tapi juga harga diri saya sebagai manusia. Saya tidak habis pikir mereka bisa begitu jahatnya pada saya, yang sudah menaruh penuh rasa percaya." Indana menjelaskan dengan nada rendah.

Elang masih bisa merasakan dalamnya luka Indana. Ya, Elang bisa merasakan luka Indana karena ia pun pernah di posisi yang sama. Bedanya, Elang melanjutkan hidup dengan menaruh dendam pada semua perempuan. Ia menjadi laki-laki yang sering mengecewakan perempuan dengan segala harapan palsu yang ia berikan.

Sejujurnya, Elang sendiri tidak merasa nyaman dengan kondisi tersebut. Ia ingin berubah, kembali menjadi lelaki yang setia dan mampu mencurahkan cintanya hanya untuk pasangan resminya. Hingga harapan itu semakin tumbuh subur tatkala ia melihat Indana pertama kali.

"Apa hanya karena itu? Maaf, bukan sedang mengecilkan luka yang kamu alami, hanya saja pasti lebih dari itu alasannya."

Wajah Indana semakin keruh. Ia tidak mau menyampaikan perihal orang tuanya dan juga kakaknya.

"Maaf, Dok. Saya kira kita tidak terlalu dekat untuk bisa saling bercerita masalah pribadi," tandas Indana.

Elang terhenyak tidak menyangka akan mendapat jawaban telak.

"Iya, saya tahu kita tidak dekat secara emosional. Kalau begitu, mari saling bercerita agar menjadi dekat." Mata tajam Elang menatap langsung ke mata Indana.

Indana menarik napas panjang lantas membuang muka. Ia kembali menatap jendela yang kini telah dipenuhi bulir-bulir hujan.

Suasana kedai kopi cukup ramai karena hujan turun, banyak orang ingin berteduh dan menghangatkan diri.

Hawa yang dingin membuat hidung Indana memerah. Beberapa kali ia bersin.

"Eh, kamu kedinginan?" Elang tampak khawatir.

"Tidak apa-apa, ini biasa. Saya kalau kedinginan pasti jadinya bersin-bersin, tapi itu juga nggak selalu. Mungkin saat kondisi imun lagi turn, kali ya." jelas Indana santai.

"Oh, tapi kena bulu kucing nggak apa-apa? Biasanya kalau punya alergi juga sensitif dengan debu dan bulu halus," tanya Elang.

"Nah, itu dia saya juga heran. Selama merawat Muezza, saya tidak merasa risih atau alergi dengan bulunya."

Elang mengangguk paham. "Mungkin memang hanya karena hawa dingin saja."

Tiba-tiba satu pikiran terlintas di benaknya.

"Kamu masih mau pelihara kucing?" tanya Elang penuh semangat.

Indana menautkan kedua alisnya, menatap Elang penuh tanya.

"Ya, mau saja kalau memang jodoh," jawab Indana kemudian.

Elang yang kini menatap penuh keheranan pada Indana.

"Jodoh?"

Indana tersenyum. Sebelum menjawab ia meneguk kopi panas yang kini menghangat. "Iya. Bagi saya memelihara kucing juga sama sama seperti jodoh. Kadang cocok kadang nggak cocok, nggak semua kucing bisa menarik perhatian saya."

Sekali lagi Elang dibuat takjub dengan jawaban Indana yang sering kali di luar dugaan. Selalu saja ada makna mendalam dari setiap ucapannya.

"Bahkan, perkara memelihara kucing saja harus memilih yang klik di hati, ya. Apakah hal yang sama juga berlaku untuk mencari pasangan?" tanya Elang serius.

Indana menatap Elang beberapa detik kemudian menunduk menatap cangkir kopinya. Tanpa mengangkat wajah ia menjawab, "Ya, berlaku hal yang sama, itu pun kalau saya ingin memiliki pasangan lagi. Sayangnya, saya masih belum berani untuk memulai kisah yang baru."

Elang merasakan nada kegetiran dari ucapan Indana. Ia sadar akan susah menembus hati perempuan yang ada di hadapannya ini. Apa maksudnya? Apakah itu artinya Ia benar-benar tertarik dengan Indana? Lagi-lagi Elang bermonolog dalam hati.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang