Bab 5. Basah

321 21 0
                                    

Bab 5. Basah

Aroma petrikor menguar kala tetes hujan pertama menyentuh tanah. Indana sedang menunggu bis di halte sepulang mengajar saat hujan turun. Diawali dengan gerimis yang semakin lama semakin menderas. Kesukaannya akan bau hujan yang turun pertama kali membuatnya tanpa sadar memejamkan mata dan menghidu aromanya. Aroma hujan selalu memberikan sensasi tersendiri bagi Indana.

Di halte bus depan sekolah ini, Indana tidak sendirian. Ada beberapa siswa siswi yang sedang menunggu bus seperti dirinya. Ada juga yang menunggu dijemput ikut berteduh di halte. Halte menjadi riuh dengan suara canda dan tawa mereka. Namun Indana tetap diam menikmati hujan tanpa terganggu riuhnya suara mereka. Hujan selalu mampu membuat Indana melintasi waktu yang telah lalu.

Seperti hujan kali ini membawanya pada salah satu peristiwa yang paling menghancurkan hatinya. Saat itu, dua bulan sesudah perpisahan yang menyakitkan dengan Raka. Ibarat luka, masih juga belum kering, tapi harus terluka lagi di tempat yang sama.

Waktu itu Indana pulang mengajar, saat sampai di rumah, Ayah dan ibunya sedang bertengkar hebat. Tidak biasanya mereka sudah di rumah saat hati masih sore. Indana yang baru sampai di rumah tidak tahu apa penyebab mereka bertengkar, lalu ia berusaha melerai mereka.

"Kalau kamu lihat ini, mungkin kamu tidak akan membela Ibumu lagi." Ayah Indana menyerahkan ponsel miliknya dengan halaman galeri foto terbuka. Kemudian ayahnya masuk ke kamar meninggalkan Indana yang kebingungan.

Indana melihat satu per satu foto tersebut. Foto-foto yang menampakkan ibunya dengan seorang lelaki muda seumuran Indana.

Indana mengalihkan pandangan dari layar ponsel ke wajah ibunya.

"Ini, bohong, kan Bu?" Indana berharap foto itu tidak benar, hanya editan dan laki-laki itu tidak nyata.

Indana berusaha menyangkal, tapi ibunya hanya diam, tidak membantah tidak pula membela diri. Indana menatap mata ibunya. Akhirnya ia paham apa yang ia lihat di foto itu nyata.

"Jadi benar, Bu? Sejak kapan?" Indana menatap nanar wajah ibunya.

"Ibu hanya ingin dibutuhkan, diperhatikan, disayangi dan dianggap. Tapi, itu semua nggak Ibu dapatkan dari Ayah kamu." Ibu Indana tampak memelas.

"Jangan cari pembenaran, Bu. Dilihat dari sisi mana pun, apa yang ibu lakukan itu salah. Aku rasa ini bukan soal apa sebabnya, tapi tentang kesetiaan pada komitmen. Kalau bukan Ibu, lalu siapa yang aku contoh?" Indana yang tak biasa berkata keras pada ibunya, kini tak mampu menahan kekecewaannya.

"Maafkan Ibu, Sayang." ucap ibunya seraya mengulurkan tangan ingin memeluk Indana.

Indana menggeleng dan menepis tangan ibunya lalu melangkah mundur. Ia  langsung menuju pintu keluar dan pergi menuju rumah Sasti tanpa mengganti baju.

Apa yang ibunya sampaikan saat itu membuat Indana tak mampu berkata-kata. Lidahnya seketika kelu, hanya air mata yang mewakili segala rasa.

Hingga saat ini hubungan Indana dengan ibunya terasa asing, begitu juga dengan anggota keluarga yang lain. Indana menjadi orang yang kesepian di rumahnya sendiri.

Indana menarik napas dalam. Mengingat peristiwa itu masih juga terasa nyeri, masih menimbulkan kekecewaan dan amarah di dada. Sampai saat ini pun Indana tidak mengerti kenapa ayah dan ibunya tidak bercerai hanya demi status. Mereka memilih bersandiwara seolah keluarga harmonis demi pencitraan, padahal di rumah mereka sudah tidur terpisah. Indana tidak habis pikir, entah pernikahan macam apa yang kereka jalani.

Hujan masih bertahan, seolah langit ingin menumpahkan segala kegundahan manusia yang menggumpal di angkasa. Satu per satu orang-orang yang ada di halte sudah pergi. Hanya tinggal segelintir orang termasuk Indana.

Indana mengedarkan pandangan lalu melihat Toyota Rush berwarna hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Jarak halte dengan gerbang memang hanya beberapa meter. Saat itulah tak sengaja mata Indana bersitatap dengan lelaki di balik kemudi. Hanya beberapa detik tatapan mata mereka bertemu karena pandangan Indana beralih pada salah satu siswi yang berlari ke arah mobil tersebut. Ternyata lelaki itu menjemput salah satu siswinya yang bernama Arasha.

Mungkinkah ia adalah kekasih Arasha? Tapi rasanya usia mereka terlalu jauh.
Indana merasa aneh, tiba-tiba ia merasa kecewa. Pikiran Indana dipenuhi asumsinya sendiri.

***
Elang terkejut saat tak sengaja beradu pandang dengan perempuan yang selama ini membuatnya penasaran. Bagaimana bisa perempuan itu ada di dekat sekolah Arasha. Elang segera memacu mobilnya melewati halte dan sempat menengok sebentar ke arah Indana.

"Ngelihatin siapa, Om?" tanya Arasha. Kepalanya ikut menoleh ke arah tatapan Elang.

"Sha, kamu kenal perempuan yang di halte tadi?" Alih-alih menjawab pertanyaan Arasha, Elang justru balik bertanya.

Arasha kembali menoleh, meski sudah agak jauh, tapi Arasha paham siapa yang dimaksud oleh Elang.

"Namanya Bu Indana, guru BK di sekolahku, emang kenapa Om?"

"Ooh namanya Indana."

Arasha sempat melihat senyum Elang meski sekejap.

"Kenapa Om nanyain Bu Indana? Pernah ketemu?"

Elang menoleh sebentar ke arah Indana lalu berkata, "Pernah, beberapa kali."

"Hah? kapan? di mana? Kok nggak pernah cerita? Bu Indana juga diam saja nggak cerita kalau kenal Om?" Arasha tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.

"Ya, dia nggak bakal cerita karena memang kita nggak saling kenal dan belum pernah kenalan juga," ucap Elang sambil menginjak rem karena lampu lalu lintas di pertigaan menyala merah.

Arasha menggaruk kepalanya. "Maksudnya? Asha nggak ngerti."

"Intinya, Om beberapa kali ketemu dia, tapi Om emang nggak kenal. Nah, tugas kamu gimana caranya Om bisa kenal sama Bu Indana, itu."

"Hmm, kalau itu agak susah, Om."

Elang menoleh mendengar jawaban Arasha. "Kenapa? orangnya galak?"

Arasha menggeleng. "Sebaliknya, sebagai guru BK tuh Bu Indana baik banget."

Bukan tanpa alasan Arasha berkata begitu. Di mana-mana guru BK selalu ditakuti, dibenci oleh siswa siswi, tapi tidak dengan Indana. Pasalnya, guru BK yang satu itu selain cantik, orangnya juga menyenangkan. Setiap kali para siswa melakukan pelanggaran, Indana tidak langsung menyalahkan, tapi menanyakan dulu alasannya. Karena sikap Indana yang seperti teman membuat siapa pun merasa nyaman bercerita dengannya.

"Ya, terus susahnya kenapa? Jangan bilang dia udah punya suami." Elang makin tak sabar mendengarnya.

"Bu Indana susah didekati laki-laki."

"Tahu dari mana?"

"Aku pernah nggak sengaja denger dia nolak Pak Guntur guru olahraga."

Mata Elang membelalak. "Kamu nguping?"

"Kan udah kubilang nggak sengaja denger, waktu itu aku piket mau ke ruang guru eh ada mereka, yaudah aku tungguin." Arasha membela diri.

"Tapi, nggak bisa jadi patokan untuk menilai seseorang susah didekati atau tidak. Kecuali dia punya trauma sama laki-laki," ujar Elang.

"Udah jadi rahasia umum, kok, kalau Bu Indana pernah putus dari tunangannya," kata Arasha.

Elang hanya diam, pikirannya melayang pada saat pertama kali bertemu Indana. Mungkinkah saat itulah Indana putus dengan tunangannya? Elang bertanya dalam hati.

PATAHWhere stories live. Discover now