Bab 29. Sisih

222 15 0
                                    

Bab 29. Sisih

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Indana akan mengecewakan Elang bahkan dirinya sendiri. Namun, ia juga tak kuasa untuk mengendalikan ketakutannya. Bukan pula ia tak pernah mencoba mengatakan pada diri sendiri mungkin inilah saatnya kembali berkomitmen. Sudah ia pikirkan berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama, Indana terlalu takut. Indana pikir memang sudah sembuh dari trauma sejak dokternya dulu menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh.

Namun, di saat kedekatannya dengan Elang menjadi lebih serius, kepanikan datang tanpa diundang. Indana menjadi overthinking, ditambah lagi dengan keadaan yang menimpa ibunya membuat perasaan Indana menjadi tak menentu. Melihat ibunya berakhir di rumah sakit karena akibat dari ulahnya yang merusak komitmen dan tidak setia, membuat Indana merasa miris.

Ibunya yang pernah mengkhianati keluarga demi seorang lelaki muda, kini ditinggalkan begitu saja setelah habis dimanfaatkan. Itulah yang membuat Indana masih meragukan tentang cinta, kesetiaan dan komitmen. Pada akhirnya mereka akan saling meninggalkan dan menyakiti. Indana masih takut jika hal itu akan terjadi lagi pada dirinya.

"Na, masih di rumah sakit?"
"Ibu kamu gimana?"
"Ada yang bisa saya bantu?"

Itulah bunyi pesan-pesan yang Elang kirim melalui WhatsApp pada Indana. Namun, setiap itu pula Indana mengabaikannya. Lebih tepatnya, ia bingung harus bagaimana. Satu sisi ia ingin membalas pesan-pesan tersebut, tapi di sisi lain ia juga ingin mengurangi kedekatan. Ia tidak mau menjadi jahat dengan terus memberikan harapan yang tidak jelas pada Elang.

Indana menghela napas membaca satu per satu pesan yang Elang kirimkan. Kepedulian Elang makin membuat perempuan itu merasa bersalah dan tak tega mengabaikan begitu saja.

Setelah obrolannya kemarin dengan kakaknya, Indana mengambil keputusan untuk tetap mengambil jarak dan waktu.

"Meski begitu, tetaplah jaga perasaan Elang, Na. Tidak ada laki-laki yang senang diperlakukan begitu," ujar Kakaknya saat Indana bercerita kemaein.

Bukan karena Indana tidak memiliki perasaan pada Elang, sebaliknya perlahan perasaan itu sedikit demi sedikit telah menyusup ke hatinya. Hanya saja ketakutannya masih jauh lebih besar dari rasa yang ia miliki.

"Na, bisa minta tolong ambilkan minum? Ibu haus." Suara panggilan ibunya mengalihkan perhatian Indana dari layar ponselnya. Indana segera bangkit dari duduknya setelah itu membantu mengatur brankar agar Ibunya bisa duduk sambil bersandar.

"Sebentar ya, Bu. Aku ambil dulu minumnya." Kemudian Indana bergegas menuju nakas tempat menaruh minum dan obat-obatan.

"Pelan-pelan, Bu." Indana menyodorkan gelas pada ibunya, tapi tidak melepaskan. Setelah ibunya cukup minum, ia kembali membawa gelas itu ke nakas.

Indana tahu ibunya sedang memperhatikan setiap geraknya. Ia memang sengaja berlama-lama menyibukkan diri jika ibunya sedang tidak tidur.

"Na, maaf ya kamu jadi repot harus cuti segala untuk mengurus Ibu di sini." suara lemah ibunya membuat Indana menoleh.

"Nggak repot, kok, Bu." Indana menjawab dengan singkat sambil memberesi barang yang ada di nakas.

Hubungan Indana dan ibunya masih dingin meski tidak bisa dibilang bermusuhan. Wajar karena Indana masih menyimpan kecewa pada orang yang seharusnya menjadi teladan baginya. Hanya saja ia tetap berusaha menjadi anak yang berbakti. Baginya, sudah menjadi kewajiban untuk menjaga ibunya dalam kondisi seperti sekarang. Bagaimanapun juga, jauh di dalam lubuk hati ia tetap sayang pada orang yang sudah melahirkan dan merawatnya sejak kecil itu.

"Kamu lagi ada yang dipikirin?" Pertanyaan Ibunya membuat Indana menghentikan aktivitasnya sejenak. Tangannya bertumpu pada nakas, pikirannya menimbang apakah sebaiknya ia cerita pada ibunya atau tidak.

Indana mendekat pada brankar tempat ibunya terbaring dengan setengah duduk. Apa salahnya ia mencoba untuk bercerita pada ibunya. Selama ini ia lebih banyak bercerita pada Sasti ketimbang orang terdekatnya sendiri.

"Soal Elang?" tanya Ibunya lagi setelah Indana duduk di dekatnya.

Indana mengangguk ragu. "Iya, Bu."

"Kalau kamu masih belum bisa membuka hati lagi, jangan dipaksakan, Na." Belum juga Indana bercerita Ibunya sudah dapat menerka dengan tepat.

Indana mengernyit menatap ibunya. "Ibu, tahu apa yang aku rasakan?"

"Seorang ibu bisa merasakan kegelisahan anaknya hanya dengan melihatnya. Kita mungkin sedang tidak terlalu dekat, tapi ikatan batin ibu tetap kuat."

Indana mengangguk dan tersenyum canggung. "Aku masih takut, Bu. Ternyata rasa suka saja tidak cukup selama belum bisa percaya."

"Ambil waktu sebanyak kamu butuhkan untuk menyiapkan hati yang baru. Ibu juga tidak akan mendesakmu. Semoga saat hatimu sudah siap, Elang masih ada untuk menunggumu. Ibu merasa Elang adalah orang yang tepat." Tangan ibunya mengusap punggung tangan Indana dengan lembut.

Pernyataan ibunya membuat Indana sedikit bernapas lega, setidaknya ia tahu Ibunya tidak mendesaknya lagi untuk cepat menikah. Di usianya yang sudah menginjak 27 tahun akan banyak pertanyaan dan tekanan dari lingkungan jika belum menikah. Terlebih lagi sahabat karibnya kini sudah menikah. Namun, selama orang-orang terdekatnya tidak ikut menekan, Indana tidak akan ambil pusing pandangan orang lain.

"Makasih, Bu. Semoga Mas Elang mau sabar menunggu." Indana merebahkan kepala di tepi brankar yang disambut dengan usapan lembut tangan ibunya. Indana memejamkan mata menahan haru di dada. Sudah lama sekali ia tidak merasakan belaian lembut ibunya.

Indana bangun saat ponselnya berdering, tampak nama Elang terpampang di layar.

Indana menoleh pada ibunya yang mengangguk. "Angkat dan bicaralah terus terang kalau kamu sedang butuh waktu untuk sendiri. Elang pasti akan mengerti."

Indana menuruti perkataan ibunya lalu segera beranjak keluar untuk mengangkat panggilan telepon dari Elang.

"Syukurlah akhirnya kamu angkat juga, Na. Saya sempat khawatir kamu juga kenapa-kenapa," ucap Elang saat Indana mengangkat panggilan dan saling bertukar salam.

"Saya nggak apa-apa, Mas. Cuman karena lagi sibuk ngurus Ibu aja," jawab Indana sambil tangan kirinya memilin ujung jilbab dengan jarinya. Suasana agak lengang karena ibunya di rawat di ruang paviliun yang agak terpisah. Indana duduk di kursi tunggu depan ruangan dengan halaman terbuka ditumbuhi rumput dan pohon palem.

"Kamu butuh teman? Saya bisa ke sana kalau kamu izinkan, biar kamu nggak bosan. Sekalian mau dibawakan sesuatu?" tawar Elang yang membuat Indana semakin merasa tidak enak hati.

"Nggak usah, Mas. Saya justru lagi butuh suasana tenang." Indana tidak sedang berbohong meski rumah sakit bukan tempat yang menyenangkan untuk ditinggali.

"Oh, oke. Kalau butuh sesuatu kabarin aja."

Indana bungkam beberapa saat, begitu juga Elang. Ada keheningan yang dingin seolah menegaskan jarak antara mereka berdua.

"Mas, saya mau ngomong, tapi semoga Mas mau mengerti, ya. Maaf kalau apa yang akan saya sampaikan menyinggung atau menyakiti hati karena sejujurnya saya nggak punya kata-kata yang lebih baik lagi untuk menyampaikannya."

"Ada apa, Na? Perasaan saya jadi nggak enak? Kamu bukan mau pergi, kan?" Terdengar nada khawatir dari suara Elang di seberang telepon.

"Mas, bolehkah kita menjaga jarak? Saya tidak tahu untuk berapa lama, tapi rasanya saya sedang butuh ruang untuk saya sendiri berdialog lebih dalam. Saya tahu dan paham kedekatan kita tentu bukan tanpa tujuan, kita sudah sama-sama dewasa. Karena itulah, saya ingin memastikan hati saya sudah pulih benar dan siap untuk membuka hati kembali. Dan saya tidak bisa menjanjikan akan berapa lama. Saya juga tidak punya hak untuk meminta Mas menunggu." Indana sengaja mengucapkannya tanpa jeda karena takut mendengar reaksi Elang.

Nyatanya apa yang ia takutkan tidak terjadi, Elang mau memahaminya.

"Baik, Na. Saya paham. Jika itu yang kamu inginkan. Silakan ambil waktumu sebanyak kamu butuhkan. Tapi, Saya tetap mau menunggu. Boleh?"

Indana hanya diam tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan terakhir Elang.

"Saya tidak memaksa, tapi terima kasih, Mas."

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang