Bab 6. Basuh

280 23 0
                                    

Bab 6. Basuh

Indana menaiki bus yang akan membawanya pulang ke rumah. Sejujurnya rumah bagi Indana hanyalah fasad, hanya sekadar tempat berteduh. Rumahnya bukan lagi tempat nyaman untuk berbagi canda tawa bersama keluarga. Tidak ada lagi orang yang bisa diajaknya bicara banyak hal, berbagi cerita hidupnya. Hingga saat ini ayah dan ibunya asyik hidup dengan dunia mereka sendiri.

Ayahnya dengan segala pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya, sedangkan ibunya tidak jauh berbeda. Jika bukan karena urusan pekerjaan, ibunya akan selalu punya alasan untuk keluar rumah. Entah itu arisan, tugas luar kota, acara sosial dan banyak alasan lainnya yang bagi Indana artinya hanya satu, ibunya tidak betah di rumah.

Sebenarnya Indana punya kakak laki-laki, tapi sudah menikah dan tinggal di rumah sendiri bersama istrinya. Hubungan kakaknya dengan ayah Indana kurang baik hingga kakaknya hampir tidak pernah berkunjung ke rumah, kecuali saat lebaran.

Lalu bagaimana dengan Indana? Sebagai seorang introvert Indana hanya memiliki segelintir sahabat dekat seperti Sasti dan Rani. Sayangnya, kini Rani sudah tereliminasi sebagai sahabat yang ia percaya setelah pengkhianatannya dulu. Jauh di lubuk hati Indana sangat menyayangi Rani seperti juga Sasti, tapi luka yang tergores terlalu dalam. Suatu saat mungkin Indana akan bisa menerima Rani kembali, tapi tidak saat ini. Ia masih butuh waktu untuk mengeringkan lukanya.

***
Sesampainya di rumah, Indana disambut Muezza yang mengeong manja. Hanya Muezza satu-satunya yang selalu menyambutnya dengan gembira setiap kali ia tiba di rumah. Kucing ras Anggora berbulu panjang, berwarna putih polos dengan mata almond itu menjadi penawar penat bagi Indana.

"Sudah pulang, Mbak?"

Satu lagi orang yang menyambutnya di rumah sepulang mengajar. Bi Surti. Asisten rumah tangga yang sudah ikut keluarganya sejak lama. Bisa dibilang Bi Surti adalah saksi hidup atas segala yang terjadi dalam keluarga Indana. Bi Surti yang membantu mengurus rumah dari pagi hingga sore. Karena masih punya keluarga dan rumahnya tidak terlalu jauh, Bi Surti hanya bekerja dari jam enam pagi hingga jam lima sore. Jadi setiap Indana pulang mengajar masih sempat bertemu dengan Bi Surti.

"Iya, Bi. Bibi masak apa hari ini?" Indana berjalan menghampiri meja makan sambil menggendong Muezza.

"Masak sayur asem, sayur kacang panjang, tempe goreng, sama balado ikan tongkol," jawab Bi Surti yang sedang bersiap untuk menyetrika baju.

"Masya Allah, favorit aku semua nih. Makasih, ya Bi. Aku mau ganti baju dulu," ungkap Indana yang disambut senyum semringah Bi Surti.

Perempuan paruh baya itu memang paling tahu apa yang disuka dan nggak disuka oleh majikannya.

Indana berjalan menuju kamarnya masih sambil menggendong Muezza. Tidak berapa lama ia sudah keluar kamar berganti baju dengan homedress selutut. Muezza masih setia mengikuti di belakangnya. Indana mengambil piring dan bersiap untuk makan.

"Bibi udah makan?" tanya Indana sambil menyendok sayur asem ke piringnya.

"Sudah, Mbak." Bi Surti yang sudah mulai menyetrika menoleh sebentar.

"Ini kayaknya nggak bakalan abis, deh, Bi. Nanti dibungkus aja, ya, pake wadah, buat orang rumah."

"Tapi, Bapak sama Ibu, nanti makannya gimana, Mbak?" tanya Bi Surti sungkan.

"Ayah udah bilang mau lembur malam ini, Ibu juga katanya lembur persiapan mau ada audit. Saya nggak sanggup habisin semuanya sendiri. Bawa aja, ya, Bi daripada mubazir."

Bi Surti mengangguk. "Baik, Mbak. Alhamdulillah. Nanti saya masukin ke wadah."

"Nurma, gimana kabarnya, Bi?"

"Alhamdulillah, sudah sembuh dan sudah masuk sekolah lagi, Mbak. Makasih bantuannya, Bibi berutang banyak sama Mbak Na."

"Nggak usah sungkan gitu, Bi. Aku juga udah bilang jangan dianggap utang. Bi Surti itu keluarga buat aku. Jadi, Nurma juga udah aku anggap seperti adik sendiri."

Bi Surti memang seorang ibu tunggal dengan satu anak perempuan yang masih sekolah di SMK. Suami Bu Surti yang seorang sopir truk kontainer meninggalkan mereka berdua demi perempuan lain. Sejak saat itu, Bi Surti harus banting tulang membiayai hisup dan sekolah anaknya sendiri. Satu lagi contoh nyata di depan mata Indana, korban dari ketidaksetiaan pada komitmen.

Menikah seperti menjadi momok bagi Indana saat ini. Bukan Indana mau mengingkari fitrahnya manusia yang harus berpasangan, hanya saja Indana masih butuh waktu untuk meyakinkan diri lagi. Itu sebabnya, Indana masih belum berani menerima siapa pun yang datang padanya, apalagi kalau hanya untuk coba dijalani. Indana belum sanggup menanggung risiko untuk kecewa lagi.

***

Elang memarkir mobilnya di depan pet shop yang merangkap klinik hewan miliknya. Ia bergegas turun dari mobil tanpa menunggu Arasha turun dan dengan langkah panjang menuju pintu utama. Kliniknya memang buka dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Biasanya saat harus menjemput Arasha tugas di klinik ditangani oleh asistennya. Kecuali tindakan khusus seperti sekarang ini memang di butuhkan keahliannya.

Di tengah jalan saat sepulang menjemput Arasha, Elang mendapatkan telepon dari klinik. Asistennya mengabarkan ada konfisi darurat, kucing kecelakaan kprban tabrak motor. Dugaan awal ada patah tulang dan harus segera di operasi.

Sesampainya di klinik, Elang segera mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk operasi. Elang menghampiri meja tindakan, seekor kucing ras Brithis Shorthair yang cukup jarang ditemukan sudah terbaring. Setelah memerika ulang untuk memastikan, Elang menyampaikan hasilnya pada pemilik kucing tersebut.

"Ada patah tulang di kaki dan harus segera dioperasi, Bu." Elang menyampaikan hasil pemeriksaan pada seorang Ibu pemilik kucing tersebut.

"Lakukan saja, Dok, apa yang terbaik menurut Dokter. Saya mohon selamatkan dia," pinta ibu pemilik kucing yang sudah berurai air mata sejak tadi.

"Baik, Bu. Ibu boleh tunggu di ruang tunggu. Setelah selesai tindakan kami akan kabarkan hasilnya."

Pemilik kucing tersebut menurut dan berusaha mengusap air matanya. Ia menuju kursi ruang tunggu.

Sementara itu, Arasha yang ada di ruang tunggu hanya menyaksikan saja. Ia merasa takjub sendiri, ternyata profesi Dokter Hewan tidak bisa dianggap remeh. Tugasnya sama mulianya dengan dokter yang lain. Sama saja menyelamatkan makhluk hidup. Selama ini ia telah salah menilai.

Mata Arasha memindai seisi pet shop yang menyatu dengan klinik tersebut. Ada banyak perlengkapan hewan peliharaan dari aneka makanan, mainan, dan lainnya yang tidak kalah seperti manusia.

Pandangan Arasha terpaku pada perempuan pemilik kucing yang sedang dioperasi. Matanya sembab karena terus menangis. Hati Arasha trenyuh melihat betapa tulusnya kasih sayang pemilik hewan. Mereka dengan tulus menghabiskan materi dan tenaga untuk memelihara dan menyayangi hewan. Satu kesimpulan Arasha bahwa mereka yang mampu menyayangi hewan seperti keluarga sendiri adalah orang-orang yang lembut hatinya. Arasha tidak tahu bahwa tidak semua orang yang memelihara hewan dipenuhi limpahan kasih sayang. Bisa saja sebaliknya, mereka memelihara hewan karena kesepian dan butuh teman.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang