Prolog

3.2K 258 62
                                    

Seberkas petir berperantara pedang karbon menyambar tanah, dan beku.

Maksudku, benar-benar dibekukan oleh es. Petirnya diawetkan dalam es infeksius, sehingga petir itu terabadikan di taman berisi koloni Gertrude Jekyll berkelopak merah.

Aku menautkan tangan dibalik punggung, mengitari monumen petir beku itu sambil memerhatikannya seksama. Petirnya dibawa oleh pedang bermata tunggal bertatahkan batu Alexandrite anti abrasi, sedangkan esnya berasal dari anak panah composite dengan aliran magis es abadi di ujung insisinya.

Aku telah purna sewarsa tinggal di kastel barok dengan parit milik garnisiun-garnisiun yang mengelilinginya. Tapi aku tak henti-hentinya terpana oleh monumen petir beku ini.

"Masih sibuk mengaguminya, Yang Mulia?" Gopal, orang yang kupercaya untuk memimpin legiun kavaleriku, menyapaku. Dia tampak letih, kelaparan, kumal, dan ... ya, kelaparan. Gopal selalu lapar.

"Aku bertanya-tanya mengapa fenomena alam sespektakulter ini dapat terjadi di kastelku." Kataku.

"Telah aku sebutkan sebelumnya," Gopal berdeham, ia melepas zirah berbulu ayam di kepalanya, dan membawanya diantara siku. "Petir dan es itu jejak latih tanding pendahulu kit—"

Aku mengangkat jari telunjukku, mengisyaratkannya agar berhenti menceracau, "Jangan melantur."

Aku tidak percaya dongeng anak-anak. Penguasa tujuh elemen bumi itu tidak ada.

Sekawanan musketir berpakaian jubah beledu menyapaku dengan membungkukkan badan, hingga bulu angsa tundra pada topi cavaliernya ikutan merunduk seperti tanaman padi saat masak. "Yang Mulia. Air mandi anda telah siap."

Aku mengangguk mengerti. Kakiku memijak arena selasar kastel, namun seseorang mencegatku melangkah lebih jauh. Itu sang putri, Yaya. Ia mengenakan pakaian kekaisaran, terlihat sopan, amat berbudaya, dan ... cantik. Matanya secoklat butterscotch tanpa sirup jagung. Dia menatapku dengan senyum sumringah.

Ia datang padaku, dan memelukku sepihak.

"Selamat datang, Kakak, Ratuku." Anak manis yang—sialnya—lebih tinggi daripada aku itu menyambut. "Hendak kemana?"

"Mandi." Jawabku, singkat. Yaya melepas pelukannya. Yaya mencerna apa yang baru saja kukatakan. Yaya mengamati penampilanku. Aku mengenakan jubah beledu sobek-sobek, kemeja berlengan puff yang pada bagian torsonya juga koyak karena seseorang berusaha mencungkil ginjalku saat aku tidur di bawah ngarai ketika gencatan senjata sedang dinegosiasikan. Aku kotor, penuh darah, kelelahan, dan sangat butuh menghirup uap panas dari tungku pembakaran di sauna.

"Boleh aku temani?" Tanyanya. Matanya memohon. Aku tak bisa menolak pinta sang putri.

Aku tidak menjawab. Aku hanya melenggang pergi tanpa bicara apa-apa. Yaya terkikik, lalu mengekoriku di belakang. Dia menanya-nanyaiku bagaimana caraku memperoleh panji kemenangan; aku ingin membalasnya dengan decakan, tapi aku tidak enak pada marinir-marinir di sepanjang lorong yang berlalu-lalang sebab malam ini, kami akan mengadakan Autumn Feast.

Karena aku abaikan, Gopal jadi meladeni Yaya. Dan mengobrolah mereka di belakang punggungku.

Pintu pemandian telah dibuka. Gopal dan yang lain menunggu diluar, tetap menjagaku dari segala sisi. Namun Yaya ikut masuk. Saat aku masuk, pintu disegel dari dalam. Dayang-dayang membantuku melucuti busanaku. Aku dan Yaya lalu beranjak meninjau hasil kerjanya Gopal.

Pemandian itu luas. Riak airnya trankuil dan statis. Kolamnya dikelilingi tiga patung dewa Yunan. Athena dengan pedangnya. Hercules yang tengah memanggul kapaknya di pundak. Orion beserta panah bintangnya. Dan Zeus, tanpa apapun. Dia memiliki Olympus, dia tidak butuh senjata untuk menjadi berkuasa.

"Kakak itu rajin mandi susu, ya? Tak ayal kulitmu lem—" Yaya menjeda ucapannya. Nadanya turun ke oktaf terendah. Tatapannya menatap horor pada kolam batu itu. "but ..."

Para dayang membalutku dengan tunik. Aku mencelupkan kaki di kolamnya, dan mendongak kepada Yaya.

"Kenapa airnya warna merah?" Yaya bertanya penuh penekanan.

"Ini darah musuh-musuhku." Aku berendam di dalamnya. Aku mengangkat tangan, mengarahkan tangan bercincin berlianku pada Yaya, "Ikutlah denganku kemari. Kita rayakan kemenangan ini."

Wajah Yaya bersemu merah, ia naik darah. "Kakak, kamu jahat."

Yaya melengos pergi. Ia menghentakkan kaki, mengindikasikan kemarahannya kali ini betulan serius.

Aku memang penjahatnya.

-

Buku ini merupakan perpanjangan Boboiboy x Reader dari buku author yang berjudul 'Boboiboy Oneshoot' chapter 'Snowhite - Boboiboy'

Sabar dulu, anjir. Interpool agent kayanya menang vote. Nanti dibikinin jugaaa, sabarrr seyengg. Book ini special req soalnnya

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang