- 10

664 127 63
                                    

Mataku terbuka lebar.

"Pek pek pek."

Dan aku melotot karena aku mendengar suara ayam.

"Pek pek pek. Pekak!" Ayam itu berkokok lagi. Aku menengok ke kanan dan terduduk spontan meskipun setelahnya, kepalaku segera dilanda pening luar biasa. Blaze ada di sampingku, ia tengah duduk memangku seekor ayam berbulu cokelat tua.

"Cock-a-doodle-do, (Nama)ku sayang. Cintaku, jangan berisik. Nanti (Nama) yang itu bangun." Blaze mengelus jengger ayamnya, dan memeluknya erat. "Eh? (Nama)!"

"Ayam itu," Aku menunjuk ayamnya Blaze, "dan ayam-ayam di belakangmu,"

Daguku terangkat, menunjuk pada sekumpulan ayam-ayam berisik yang berkeliaran di rumah ini, "Kamu dapat darimana?!"

"Aku meminjamnya. Nah, (Nama). Kenalkan, ini (Nama). Dia sahabat ayamku. (Nama), ucapakan salam. Anak perempuan di atas ranjang di sana namanya (Nama). Semoga kalian bisa berteman," Blaze berusaha memperantarai introduksiku dengan ayamnya yang entah bagaimana dinamakan (Nama).

"Kamu menamainya siapa?!" Aku menyentak.

"Ayam ini? (Nama). Namanya (Nama)." Blaze menarik pelan sayap (Nama), dan seolah menciptakan gestur melambai. "(Nama), say hi pada (Nama)."

"Blaze." Aku memijit kening. Ya ampun. Apa yang barusan terjadi padaku? Bukannya aku baru saja membunuh raksasa api hasil mutasi dari Blaze. Aku memandang Blaze lekat-lekat. Ia memiliki guratan-guratan merah di pipinya, mengindikasikan ia terluka oleh sesuatu. Apakah itu, bekas pertarungan kami.

Atau aku hanya bermimpi?

"Ya, (Nama)?" Blaze mendongak.

Kenapa Blaze bersikap seolah tak terjadi apa-apa pada kami? Bukankah aku hampir membunuhnya dengan menceburkan kepalanya ke air dan membiarkan orang itu mati karena kekurangan pasokan udara? Semestinya ia marah. Atau sebaliknya. Kenapa aku tidak membenci Blaze?

"Apa yang terjadi padamu dan Supra?" Aku memutuskan untuk menyamankan posisi pantatku di ranjang reot ini, dan mulai menggali informasi. Kurasa aku layak bertanya begitu. Aku bersangkutan dengan konflik mereka selama mereka masih memberlakukan gencatan senjata di Pulau Rintis, wilayah dalam kepemimpinanku.

"Supra tidak bilang?" Blaze bertanya balik. Ia mengusap kepala (Nama) dengan penuh sayang, seolah ayam betina idiot itu separuh dari belahan jiwanya—kekasihnya, seperti itulah para musisi menggambarkan prosa romansa mereka sambil memusikalisasinya dengan not-not piano.

"Supra bilang kamu membunuh raja sebelumnya." Kataku.

"Kamu memercayainya?" Tanya Blaze balik. Pertanyaan ini memang bersifat boomerang, tapi kali ini, Blaze terdengar defensif. Ia menolak membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau.

Aku berdeham, aku lalu menormalkan pandangan buramku karena aku baru bangun tidur, "Di Grand Palace, ada monumen yang terbuat dari petir beku. Apa itu ulahnya Halilintar dan Ice?"

Blaze mengangkat bahu, "Tidak tahu. (Nama). Astaga. Kamu mengunjungi Grand Palace. Orang tuamu seorang adipati? Duke dari keluarga impersario?"

Aku meneggakkan punggungku, "Dengarkan aku. Aku. Seorang. Ratu!"

Blaze memejamkan mata sambil mengangguk-angguk, "Ya. Ya. Terserah. Ratu (Nama)."

Kupikir panggilan barusan itu bermaksud mengejekku. Apa aku benar? Atau apakah aku terlalu berpandangan buruk pada orang ini dan enam pemuda terkutuk lainnya? Aku sendiri tidak tahu kepada siapa aku mesti percaya. Supra, ataukah ketujuh pemuda terkutuk ini—yang setidaknya, terdiri dari Blaze dan Ice. Mereka tampaknya tidak semenyeramkan hikayat. Mereka normal. Mereka beretika, bertata-krama, dan perlakuannya manis.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now