- 17

605 129 29
                                    

"Perang ini menjengkelkan." Yaya menggerutu. Ia melingkarkan perban di tanganku.

"Aku tak terluka separah itu." Aku menggoyangkan bahuku. Aku ngeri ketika aku keluar dengan lilitan perban dimana-mana, anggota resimen akan mengira aku terlalu sakit. Yaya mengikat perbannya, dan mengoleskan obat merah ke lecet di telapak tanganku. Lukanya kecil, bahkan nyaris tak terlihat, namun ia tetap merawatnya.

"Terimakasih atas hadiahnya, Kak. Aku menyukai perhiasan-perhiasannya." Yaya mengulum senyum.

Aku terkekeh pelan. Aku tak mengharapkan terimakasih, melainkan senyumnya. Ia menunduk malu dan mengelus lenganku. Ia bersender di sana, memejamkan mata. Ia seakan mengistirahatkan diri dari segala penat. Hidup memang capek. Tapi kalau mati pun, aku masih takut akhirat. Aku serba salah.

Kelotak api unggun berbunyi seperti ranting yang diinjak. Deru seruling dari barak lain memanjakan telinga. Ketaksaan malam membawa aroma bulan; seruni, bau anyir darah dari stuka-stuka, dan petrikor. Aku tak sama sekali merindukan ketenangan semacam ini. Aku lebih senang kesunyian kuburan di Grand Palace—aku menikmati koakan koloni gagak, dan cicitan tikus di peti.

Terakhir kali aku merasakan suasana ini, ialah malam dimana aku duduk di atas kapal tongkang. Dayung-dayungnya patah. Layarnya robek karena ditembus panah api, lalu terbakar dan gosong. Abu-abu sisa kapal induk yang ditembak dingir berterbangan mengikuti angin pasang. Visual mengenai teluk selalu membayang-bayangi aku.

"Sama-sama." Aku ikut menutup mata. Aku menimpa kepalaku di atas kepalanya Yaya. Kami saling menumpu.

Kurasa hidup jadi Ratu itu sama sekali tidak menguntungkan. Tapi, ditakdirkan sebagai rakyat jelata pun tidak ada bedanya; aku sudah merasakan berada di posisi keduanya. Hidup isinya menderita, sengsara, dan sakit.

"Besok, sudah musim semi." Yaya berbisik. "Aku ingin datang ke festival lempar tomat ketika perang berakhir."

"Aku juga." Tanpa sadar, air mataku menetes meskipun aku tidak berniat menangis. Hal-hal kecil, seperti contohnya melempar kepala seseorang dengan tomat masak, terasa menyenangkan. Padahal aku sering kali mengabaikan festival-festival di alun-alun atau acara kenegaraan House of Lords. Bagaimana pun, keduanya merepotkan. Aku atau Yaya perlu menuruni gunung, tiba di lereng berkontur seperti patahan geometris tak beraturan, menyusuri jalanan berkerikil, baru kami akan tiba ibu kota. Menyebalkan.

Musim semi, kuharap, aku dapat menikmatinya dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang kutafsirkan sebagai kesialan. Aku ingin melihat matahari terbenam di antara pohon-pohon ek. Aku sungguh ingin. Walaupun sebelumnya, aku bilang aku membencinya.

"Bisakah kita merasakan musim semi ..." Yaya menyambung. "Tanpa perang."

"Kaizo tidak ingin berdamai." Aku menahan air mata lain keluar dari pelupuk mataku dan mengotori wajahku dengan jejak lengket menjijikannya. "Artinya aku perlu memberantas Gogobugi sampai ke akarnya untuk menghentikan mereka."

"Aku takut kamu mati, Kak." Yaya berimbuh.

Aku mendengus. "Aku tak akan mati semudah itu."

Yaya menegakkan punggung, "aku mau bertanya. Soal tumbuhan berduri di dinding benteng."

"Aku juga tidak tahu. Jangan tanya." Aku menggeleng. "Yang terpenting, tumbuhannya berpihak padaku. Bagus. Begitu saja cukup—lebih daripada cukup."

Yaya berseru, "apakah legenda itu benar?"

"Legenda yang mana?"

"Yah. Orang-orang tahu. Artefak Pulau Rintis selalu dihubung-hubungkan dengan peristiwa magis. Seperti contohnya, tujuh elemen." Yaya menyengir. "Aduh. Kak. Aku mengantuk. Bisakah kakak membacakan buku dongeng yang aku berikan?"

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now