- 24

537 120 42
                                    

Aku tidak yakin apakah sebetulnya jantung manusia berukuran sebesar segenggam tangan saja, dan lemaknya begitu banyak menempel di darah katupnya. Tapi karena Gopal mengatakan ini jantungnya Yaya, dan menyerahkannya dalam ketakutan, aku percaya.

Aku merasa aku tidak perlu repot-repot mencengkram benda berdarah-darah ini dan mengangkatnya ke atas; meninjaunya, bolak-balik memerhatikannya, dan mempelajari detilnya. Aku tidak mengerti mengapa sangat penting bagiku untuk berbuat gila dan dungu begini. Entahlah. Ada perasaan aneh di tenggorokanku. Panas membakar. Kesemutan. Dan mual.

Aku meloloskan tawa. Aku berupaya mengeremnya, berpikir aku tak semestinya merekaciptakan kegaduhan yang akan diperbincangkan saksi dengar di luar peraduanku. Tapi aku ... tidak bisa berhenti. Aku kecanduan tertawa, bak aku sangat menyukai minum air ketika haus—aku mencari interpretasi berupa kepuasan. Kepuasan. Rasa lega. Kemelut aneh di dadaku memaksaku berlaku demikian.

Aku menghirup bau jantungnya. Seperti dugaanku, amis. Bukan aroma yang asing di penginderaanku. Tapi, sebanyak apapun aku terbiasa, baunya memang tidak pernah enak dihirup. Menjijikan.

Aku memasukkan jantungnya ke gerabah lagi, dan menghadap pada Supra.

Supra tidak bilang apa-apa selain menanyakan keadaanku, apakah aku sudah sarapan, atau tidurku nyenyak atau tidak. Dia menutup mata. Dia tidak menghakimi aku, atau tidak bertanya apa yang salah dengan perubahan signifikan di dalam diriku, seperti segelintir petugas sipil di istana manuskrip, Gopal, Vargoba yang datang untuk melaporkan Gogobugi semakin mendeterminasi perang dan hampir berhasil mentake over benteng, dayang-dayang, atau ... orang dari komisi pengaduan. Kadang, mereka memuakkan sekali. Ditanya begitu menjadikan aku ingin memaki-maki.

"Bagaimana, Supra?" Aku memulai pembicaraan.

Supra tidak lekas menjawab, padahal sebelumnya, Supra lumayan interaktif. Aku tidak melihat adanya emosi apapun di matanya. Ia bernapas secara konstan, tapi gerakan tubuhnya gelisah sekali. Aneh. Otot wajahnya memang baik-baik saja, ia tidak senang maupun sedih, tapi tatapannya sayu. Seperti anak kecil kurang tidur.

"Ya?" Ia mengangkat dagu.

"Apanya 'Ya'?" Aku membuang napas kasar. "Sekarang, beritahu aku, Supra. Siapa wanita tercantik di Pulau Rintis?"

"Apakah kamu masih mencintai aku, seperti dulu?" Supra mengalihkan pembicaraan. Kurasa ia tidak bermaksud begitu karena ia menghadang minatku. Supra hanya penasaran. Penasaran membunuhnya. "Kamu bilang kamu mau menikah denganku, bukan? Kenapa kamu jarang meminta untuk dipeluk lagi? Kenapa kamu jarang di kamar? Kamu lebih suka Wild Bloom Grand Palace."

"Aku ..." Aku memerhatikan tangan kananku. Karena jantungnya, aku mengotori tanganku dengan cairan kental sewarna burgundy.

Aku sangat menyukai Supra. Supra mau mendengarkan. Aku tak keberatan mengiyakan ajakan menikahnya yang kupikir hanya angan-angan belaka. Supra masih terkurung di cerminnya. Selama kutukannya tidak dipecahkan, Supra tidak akan kemana-mana, dan mustahil dia bisa mempersunting aku. Aku sungguh berminat menyerahkan diriku sendiri pada Supra. Big deal. Aku suka Supra. Sangat. Tapi Supra dibentuk dari tubuh Sang Pangeran. Supra ialah bagian dari Sang Pangeran. Dia punya dua belas pecahan lainnya. Aku mengimajinasikan seperti apa jadinya, bila aku hanya menikahi sepertiga belas dari tubuh Sang Pangeran.

"Jawab pertanyaanku dulu." Aku menggeleng.

"Tidak. Pertanyaanku lebih dulu." Supra menolak.

"Baik. Aku bersedia saja bila kamu memintaku menikah. Tapi, aku terlalu muda untuk dinikahi. Kamu tak bisa memperistri anak belasan tahun." Aku beralasan. Alasanku logis. Alasanku tak terbantahkan, kecuali Supra penyuka anak di bawah umur. "Juga, kamu punya dua belas pecahan lain. Apa maksudmu? Kamu mau menyimpan aku untuk dirimu sendiri, atau berharap aku menyukai yang lain juga?"

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now