keɪnɪs ˈmeinore, ˈfɔrnæks, keɪnɪs ˈmeɪdʒə - Epilog

816 144 71
                                    

Kerumunan terbentuk di teras depan Grand Palace. Semuanya terdengar berbisik-bisik. Aku membelah lautan manusia, dan mencapai pusat keramaian. Nyatanya, mereka mengitari sesosok laki-laki yang tergeletak tanpa respon tubuh apapun.

Kaizo bahkan berjongkok. Ia penasaran. Ia ingin melihat dari dekat.

Setelah kedatanganku, Kaizo mengangkat dagunya. Ia mengerutkan dahi. Penampilanku memang mengherankan. Aku mengenakan gaun biasa. Tapi bagian depannya terbakar. Hangus. Sisaan kainnya hanya ada di samping kiri kanan dan belakang saja, yang kemudian hal itu menyebabkan tereksposnya sekujur kaki berdarahku pada Kaizo. Dan karena panasnya badai matahari, hornblade di gaunnya memerah. Amphibole hornblende berbentuk glanular itu mineral yang cantik. Tapi entah mengapa, ia mampu menyimpan kadar api. Warnanya jadi merah, dan kandungan apinya bergerak-gerak di balik permukaan kristalnya.

"Siapa orang ini?" Tanya Kaizo. "Dia berasal dari reaksi tubuh pejabatmu."

"Sulit menjelaskannya." Aku menghela napas.

"Ratu." Aku menoleh, mencari sumber suara yang terlalu menarik untuk diabaikan. Selama aku memerhatikan tubuh Boboiboy di bawah sana, aku melewatkan keberadaan Yaya di antara orang-orangnya Kaizo. Aku terkesiap. Aku tidak merasa mematahkan kutukan siapa-siapa.

Tidak menunggu lamunanku selesai, Yaya membelah kerumunan dengan berdesak-desakan dan memeluk aku.

"Aku membunuh kamu." Setidaknya, nyaris.

"Aku tahu. Itu kutukan." Yaya enggan mendengarkan.

"Dan siapa yang mematahkannya? Aku yakin kamu tidak sekonyong-konyong bangun dari ... tidurmu." Aku belas memeluk punggung Yaya. Kaizo memerhatikan reaksi kami dengan bingung. Ia memalingkan muka karena ajudannya mengajaknya berdiskusi. Awalnya, muka Kaizo biasa-biasa saja. Tapi ketika seseorang bicara padanya, dan melaporkan satu dan lain hal, Kaizo jadi panik sendiri kemudian mengomel.

Yaya melepas pelukannya dan memegang erat-erat kedua lengan atasku, "aku tahu kamu tak akan sepenuhnya percaya. Tapi ..."

"Tapi apa?" Aku menaikkan alis.

"Maaf kalau jawabanku bikin Kakak mau muntah." Yaya membuang pandangannya. "Cinta sejati."

Aku meneguk ludah. Aku mual. Tapi aku menggeleng tak mengerti alih-alih muntah di hadapan semua orang, "apa maksudnya itu?"

"Ratu." Ada lagi yang memanggil. Aku menoleh ke bawah. Fang bertekuk lutut. Sedangkan Kaizo memandangnya penuh makian, seakan sang kakak jelas-jelas menentang perbuatan adiknya, tapi ia tidak punya pilihan selain mengizinkan.

Tangan Fang diletakkan di dada, ia menghormati aku, lalu mengangkat dagu, "aku hendak meminta izin, untuk menikahi adikmu."

Aku melongo. Sesuatu terjadi di belakangku.

"Aku tersedak apel itu, Kakak." Yaya buru-buru memaparkan. "Tapi, pangeran ini menyelamatkan aku."

Persepsiku terhadap kutukan Ying kini telah berubah. Kupikir, ketika plotnya tidak sesuai pada kalimat di bait kutukannya, maka hanya akan ada kehancuran bagi kesemua orang.

Aku menatap Fang di bawah sana dan Yaya secara berganti-gantian. Tekad mereka kuat. Aku menghembuskan napas kesal. Ujung-ujungnya, alat diplomasi terkuat milik Pulau Rintis—putri kami—mesti digunakan sekarang.

Kaizo berdiri, "jika kamu menerimanya, Ratu, kurasa ini cukup. Kita berdamai saja."

Sekarang, kakaknya Fang membela. Ini kesepakatan bagus. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Aku tidak butuh menandatangani pakta perdamaian yang menguntungkan pihak pemenang perang, juga Yaya tampaknya senang dengan Fang.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now