- 18

640 130 12
                                    

Senjata-senjata disimpan di gudang. Ada di Grand Palace. Aku meletakkan aset kerajaan di sana karena kupikir, Grand Palace itu aman dari bandit gunung, perompak samudera, organisasi pencuri, dan tangan-tangan korup pejabat wilayah. Namun asumsi barusan terbantahkan ketika Thorn bilang, seseorang berusaha membobol masuk Grand Palace.

Aku dan Yaya memutuskan pulang ke ibu kota. Kami meninggalkan perbatasan yang dijaga oleh panglima-panglima itu, seorang duke, dan Marques.

Selama setengah hari, kekhawatiran-kekhawatiran melingkupi kepalaku. Aku bisa mati karena stress dan berbagai macam tekanan mental.

Aku dan Yaya beberapa kali melipir. Beristirahat. Memantau keadaan sekitar. Mewawancarai petani yang lewat mengenai pajak karena perang. Minum air di aliran sungai menuju air terjun, lalu melanjutkan perjalanan.

Seperdua hari bekendara dengan kuda berakhir dengan terbenamnya matahari. Langit masih menyala. Oranye warnanya. Tapi sinarnya meredup. Jalanan masih terang, obor-obor di pemukiman ibu kota mulai dinyalakan oleh korek pemantik. Lentera-lentera minyak berpijar pada pasak besi.

"Siapa menurutmu yang berniat mencuri?" Yaya meminta pendapat. Ia masih duduk di atas pelananya tanpa mengeluh karena telah berkuda selama setengah hari.

Aku mengelus dagu, memandangi kubah-kubah megah Grand Palace yang terlihat berkilauan sepanjang waktu dari bawah sini.

"Seseorang yang telah mensurvei." Kataku. "Mana berani orang menyusup ke istana, tapi tidak paham denah."

"Ada yang aneh di atas sana." Yaya mencondongkan tubuhnya ke depan, dan menyipitkan mata. Kedua tangannya menggenggam erat tali kelang di atas punggung kuda. Bahunya menurun.

Aku ikut memandang kemana arah Yaya melihat. Grand Palace. Dari bawah sini, Grand Palace terlihat baik-baik saja. Berdiri kokoh di pucuk bukit. Diperantarai oleh ratus ribuan anak tangga dari semen dan batu-batuan berpori. Ada pun jalanan pada birai-birai miring untuk transportasi kereta kencana dan pageant wagon pengangkut kebutuhan dapur istana.

"Tampak norm—" aku menutup mulut. Kupikir ada gempa. Aku menoleh ke sekeliling. Aku menghentikan kudaku dengan menarik tali kekangnya. Tidak ada. Tidak ada gempa atau vibrasi apapun. Lalu aku mendongak lagi. Grand Palace di atas sana nampaknya bertumpu pada tanah yang bergetar. Ada kepulan asap dari pondasinya. Semacam debu konstruksi dan bubuk-bubuk pasir.

Sejurus kemudian, debunya menebal. Pergolakan tanah terjadi di sekitar Grand Palace. Seperti ada penggalian magi di sana, entah ulah siapa. Bongkahan tanah terkelupas dari kaki Grand Palace, dan terlontar sembarang kemana-mana. Sepenggal kepala ular naga muncul dari tanah, ia melompat seperti lumba-lumba, dan masuk lagi ke tanah. Tubuhnya juga meliuk-liuk keluar masuk ke tanah, menghancurkan piringan tumpuan Grand Palace.

Ular naga itu mengelilingi Grand Palace, membongkar besi-besi titanium yang menjadi landasan terbangunnya istana maha indah itu. Tidak berhenti sampai di sana, sang ular naga membawa Grand Palacenya ke udara. Ia menopang keseluruhan bobot seantero Grand Palace, menara-menaranya, dan dudukan tanahnya.

Aku menganga.

"Apa yang dia coba lakukan?" Yaya mempertanyakan.

Si ular naga membopong Grand Palace ke langit, hingga pada ketinggian yang tidak terjangkau oleh tangan manusia. Itu terlihat layaknya pulang kecil di awang-awang.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteOù les histoires vivent. Découvrez maintenant