- 07

652 116 45
                                    

Aku menatap lurus pada lukisan bercat tempera di depan kelambu ranjang bubingaku. Tiap kali aku bangun tidur, aku selalu disambut oleh lukisan berwarna kapur berisi anggota Royal Family ini. Mereka terdiri atas ayah angkatku, ibu angkatku yang bagian lukisan wajahnya sobek, Yaya digendongan ibunya, dan bagian kiri kosong. Seseorang mencakarnya, menghancurkan satu-satunya rekam jejak Royal Family sebelumnya selain artefak sekunder di menara sastra. Dan sebab itulah, aku tidak bisa mengidentifikasi wajah sang ratu, juga pemandangan di ruang kosong di sebelah kiri pundak sang ratu. Aku masih meletakkan lukisan koyaknya di sini karena aku menghormati ayah angkatku dan Yaya.

Aku melenggang pergi dari peraduan. Tanpa memiliki minat untuk basa-basi pada Supra.

Matahari telah menyingsing dibalik perbukitan. Orang-orang mulai bangun.

Aku turun melalui tangga. Sesekali aku menengok ke luar jendela; di pelantaran belakang rumah kerja kepala Penyalin Manuskrip Kimia, kupandangi ramai wanita-wanita bercelemek putih mencuci sekeranjang fabrik di aliran air yang dibuat di dekat keran pompa. Mereka menggosok pakaian kotor sambil menyenandungkan kidung revolusi Pulau Rintis.

Sepatuku berhenti menapak di depan ruang komisi pengaduan. Dua orang prajurit berzirah seberat tiga kilo dengan tameng raksasa dan tombak setinggi puncak kepala mereka lekas menerokakan aku pintunya. Di dalam, aku menjejakkan kaki di atas permadani merah berujung renda-renda sewarna aurum. Prajurit jaga lain yang mengapit permadaninya cepat-cepat menjorokkan bendera-benderanya pada kehadiranku.

Permadaninya berakhir di kursi tahta bersemarak pancang-pancang abu-abu gainsboro dan pahatan rumit dari para pengerajin logam mulia. Aku duduk disana. Dan aku bertopang dagu.

Retak'ka, Vargoba, Borara, Ejojo, dan Adudu membungkuk hormat, menyalami aku seperti selalu. Aku mengangkat rendah tanganku, mengizinkan komisi pengaduan hari ini dimulai dengan tipuan terompet berbalut pita dan bendera oleh sang kasim.

Gopal lekas berdeham, ia membuka lembar pertama dari buku kardeksnya, "Em. Yang pertama. Seorang petani beet dari distrik terjauh mengatakan bahwa barn di desanya mengalami kebakaran, dan berkuintal-kuintal hay bale-hay bale di dalamnya ikut musnah. Sekarang, desa mereka jadi kekurangan bahan makanan. Berikut kami hadirkan sang petani, Papa Zola."

Pintu dibuka, dan si petani menampakkan batang hidungnya.

Ia menundukkan kepalanya, dan melepas topi jeraminya, lalu merengek, "Yang Mulia, Hamba benar-benar tidak ingin merepotkan istana, t-tapi—"

Aku mengayunkan jari tengah dan jari telunjukku searah jarum jam. "Ya. Permintaanmu dikabulkan. Kami akan mengirimkan logistik berupa pangan. Pergi."

Si petani langsung berekspresi sumringah. Ia memakai kembali topinya dan mengangguk. Namun sebelum orang itu pergi, aku lekas menyetopnya, "Eh. Sebentar."

Si Papa Zola kontan merinding. Ia terpatah-patah menengokkan lehernya ke belakang, mewajahi tiran seperti aku lagi.

"Y-ya, Yang Mulia." Katanya. Suaranya gemetaran dan terkesan menyimpan ketakutan yang luar biasa absolut.

Aku menyipitkan mata. Aku mengidentifikasinya dari atas ke bawah. Aku semakin menjadikan petani itu termakan ketakutan.

"Kebakaran hanya terjadi ketika musim panas." Ucapku, penuh curiga. "Selidiki siapa pemuda usil di kampungmu yang bermain-main dengan obor atau petasan. Sana pergi."

Si Papa Zola meneguk ludah, dan mengiyakan apa titahku.

Gopal ambil posisi. Ia merentangkan gulungan perkamen selanjutnya dari komisi pengaduan hari ini, "Selanjutnya, Yang Mulia. Marques Glacier hendak bertemu."

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now