- 20

620 120 71
                                    

Orang-orang berbondong-bondong masuk ke Grand Palace. Para wanita bangsawan berusia paruh baya mengenakan topi corong berkerudungkan kain satin warna-warni, yakni sebuah wimpole yang ditarik rapat di bawah dagu. Crackowes berujung lancip mereka berdentam-dentam di lantai marmer Grand Palace. Gaun Tudor berkerah sabrina mereka pun menyapu lantai. Sedangkan para pria doubletnya hanya mencapai pinggang serta sangat ketat dengan belahan di dada, kemeja mereka dibordir jahitan emas, dan mereka mengenakan stoking kulit dibalik sepatu boot.

Golongan bangsawan wanita muda tak kalah banyak mengisi Grand Palace. Gaun mereka mengembang karena hose berlapis chemise sebelum akhirnya kerangka mirip kandang ayam itu dilapisi linen dan wol berenda-renda yang berjahitkan gemstones, bros logam, dan grosgrain-grosgrain cantik di setiap tepalnya. Di sisi lain remaja anak para pedagang lebih banyak mengenakan gaun surcoat tanpa sisi berhiaskan plastron dipangkas, dan digantikan dengan bulu-bulu burung pekakak, atau mereka hanya memakai houppelande dan mengkonde rambutnya menjadi tatanan updo.

Mereka begitu gemerlapan.

"Apakah Winter Feast selalu seramai ini di eranya ayah menjabat?" Aku kebingungan. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri. Aku dikelilingi keramaian, canda tawa, cengkrama hangat, kemewahan, hilir mudiknya pengangkat sauh yang menggotong peti-peti botol brendi mahal, dan koki dengan piringan-piringan hidangan kalkun utuhnya. Aroma salju di pegunungan, minyak bawang putih dari masakan berasap, rosmeri, parfum para bangsawan berbau cassia dan ambergris menyelinap ke lubang hidungku. Aku mundur. Aku linglung.

Solar memegang pundakku, mencegah aku jatuh dari tangga, dan barangkali menyenggol barel-barel berlabelkan 'Beetroot' yang baru saja diturunkan dari kereta karavan.

"Saat Gogobugi, Gur'latan, dan Pulau Rintis masih berhubungan baik, Thanksgiving Feast saat musim semi, Starry Night Feast di musim panas, Latern Feast musim gugur, dan Winter Feast pada musim dingin, selalu diadakan dengan mengundang para tetangga ke jamuan." Solar memaparkan.

Aku terpaku. Aku sadar aku telah mengumandangkan perang pada Gogobugi tanpa ada alasan yang jelas—sangat infantil, bodoh, dan idiot, aku mengerti. Aku merusak aliansi tiga kerajaan. Pada akhirnya meskipun kali ini Kaizo benar-benar menjadi bedebah tidak tahu diri, aku tetaplah tokoh yang memulai segala-galanya.

Dunia ini terasa menyenangkan. Kurasa mereka bahkan tak sempat untuk memetik tomat-tomat di ladang karena panen mereka terlalu melimpah—aku memperkirakan, pajak tidak dialokasikan untuk menambal kekurangan alutsista. Mereka hanya menggelontorkan uang untuk membeli benih, mengolah pupuk, menggaji para peerage, dan membayar uang preservasi pengairan melalui turbin.

"Ratu." Solar berjalan mendahuluiku masuk ke Grand Palace. "Mari."

"Aku jadi tidak enak saat kamu memanggilku begitu." Aku berusaha menyusul Solar di tengah-tengah keramaian. Aku sangat berjuang untuk tidak menyenggol siapapun. Tapi aku malah menyinggung pundak seseorang; nyatanya, tubuhku memercikkan pendar keemasan, dan menembus apapun yang aku sentuh, seperti hantu bergentayangan. Tunggu. Aku penasaran. Aku menusukkan tanganku ke perut seorang koki di dekat meja pantri. Benar presumsiku. Tanganku menembus jalinan daging si koki dengan pasir keemasan yang berhamburan di udara dan mengelilingi titik distorsinya, tapi si koki tidak menghiraukan aku sama sekali.

Aku mencabut tanganku yang bermandikan pasir emas yang tersapu angin dan berterbangan.

"Wah." Aku bergumam.

"Mengapa?" Solar sudah berada di pertigaan lorong menuju taman mawar dan kapel. Ia menoleh ke belakang dan mempertanyakan ungkapan ketidaknyamananku. "Bukankah sebelumnya, kamu mati-matian ingin diakui sebagai ratu?"

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now