- 06

740 134 38
                                    

Keesokan paginya, aku mengendarai kuda menuju hutan musim gugur, masuk ke sentral hutannya sembari menahan dingin, memacu tali kekang kudaku tiap kali aku melintasi daerah parit bekas perang pemersatuan emirat-emirat. Kemudian aku sampai ke pondok sederhana mereka. Aku mengetuk pintunya dengan tak sabar.

Duk duk duk duk

Tangan kananku terbalut sarung tangan tebal. Aku memukul-mukul daun pintu berbahan kayu meranti itu hingga menimbulkan suara tak nyaman. Sementara tangan kiriku menggantung rendah setinggi pinggang untuk tetap menyungsung lentera prisma cembung berpijar api nyaris padam sebab kehabisan minyak.

Gempa yang menyambut. Ia menarik pintunya ke arah belakang dan mengizinkan pengelihatanku menelisik masuk ke dalam; aku memandang para pemuda terkutuk itu sedang duduk mengitari meja makan bundar dan memakan pai berlapis selai marshberry. Hidangan pinggir dermaga. Aku ingat sewaktu kecil aku selalu mengorder pai marshberry dengan pie crust yang kubawa sendiri dari dapur istana karena dapur istana selalu menekan jumlah kolesterol untuk konsumsi para Royal Family. Bahkan mulut Blaze tengah menganga, bersiap menyantap kudapan itu.

"Musim dingin menjadi semakin tak lumrah. Aku perlu bertemu dengan Ice." Kataku, meminta izin.

Gempa menatapku sambil mempertanyakan kejujuranku. Ia kelihatan amat tidak memercayai aku.

"Dia," Gempa bergumam. "Berbahaya."

"Siapa? Ice?" Aku mengerutkan kening. "Aku tahu. Tenung jahat kalian berpotensi melukai orang-orang."

Gempa mengalihkan pandang pada pemandangan di belakangku. Anginnya mengencang, membawa frekuensi butir-butir salju dalam jumlah tidak wajar.

"Masuk. Badai hendak mengamuk." Gempa mempersilahkan.

Aku langsung menyetujuinya. Melawan badai sesungguhnya bukan perkara besar untuk ditakhlukan selama seseorang memiliki kuda balap di bawah pelana kulit dan ketahanan tubuh manusia normal—minimal, tidak sakit. Aku menalikan tali kekang kudaku di daerah mereka menimbun jerami dan kayu perapian.

Aku telah mengalami berbagai pengalaman perang yang lebih menyedihkan; terkurung dalam badai telah menjadi seni untuk tetap hidup. Aku tidak kenapa-kenapa. Aku baik, aku sehat, dan aku tak mempermasalahkan sekujur tubuhku yang bersimbah bunga es hasil dari hailstones

"Ice ada di atas." Gempa menginformasikan. "Di bilik kamarnya."

"Aku akan ke atas." Aku menunjuk tangga keropos mereka.

Aku menolak mempedulikan sorotan mata kesemua pemuda terkutuk itu padaku. Aku menginjakkan kaki di anak tangga yang menimbulkan bunyi derit memilukan yang menyatakan betapa ringkih dan penuh rayapnya furnitur-furnitur ini.

Lalu aku melengos masuk ke kamar. Aku memergoki Ice tengah duduk di kasurnya. Kakinya naik ke kasur. Ia memeluk lututnya sambil menonton terjadinya snowstorm di luar sana, dari jendela kecil yang gordennya disibak dengan tali marinasi daging.

Pria rakyat jelata penyendiri itu, mangsaku.

"Ice." Panggilku.

Ice menengadahkan wajahnya, ia melirikku, dan sepenuhnya menoleh.

Aku mendekat. Rakyat jelata berkekuatan es ini murung sekali.

"Hey. Ice." Aku mengulangi.

"Apa maumu sampai repot-repot datang kemari?" Tanyanya, ketus.

Aku berani jamin, hanya aku ratu di kontinen yang bersedia melintasi snowstorm untuk menjumpai rakyat jelata terkutuk di tengah hutan musim gugur.

"Bebaskan benua ini dari siksaan saljumu." Kataku, frontal. "Sedikit lagi, kamu akan membunuh ratusan jiwa."

Ice tidak mau menatapku. Ia menunduk, sambil membetulkan posisinya di atas kasur. "Aku tidak bisa."

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now