- 19

580 125 42
                                    

"Aku punya syarat." Begitu katanya.

Aku menyapu pandang. Angin kebetulan mampu masuk ke peraduan kamarku dan membawah selembar daun narsius berwarna hijau keperakkan. Namun daunnya membeku di udara. Pendulum pada jam raksasa di peraduan ini pun, berhenti berdentang-dentang.

Mataku menyipit. Dunia terasa abu-abu. Gradien warna menurun di tiap zat.

"Apa?" Tanyaku.

"Ikuti cahayanya." Setelah mengatakannya, wanita bertopi kerucut itu dimakan oleh arus spiral ratusan kupu-kupu biru yang membawanya pergi.

Telingaku tidak mendengarkan apapun. Ini kesunyian yang total. Aku menoleh ke perapian. Apinya menyala, tapi apinya berhenti menjilat-jilat udara dan membeku dalam rona kelabu. Aku berjongkok dan mendekat. Tak kutemukan aroma abu pembakaran, atau barangkali suara kelotak kayu dari pirolisis di dasar tumpukan bata. Aku beranjak berdiri dan meraih balkon. Dunia di luar sempurna beku dan bisu. Langit kelabu memusarkan gelombang angin, tapi laut di sisi tenggara kastel tampak diam membisu. Tidak ada ombak. Tidak ada gemerisik air dari aliran sungai di dekat hutan musim gugur padahal biasanya turbinnya selalu berisik karena salah satu girnya mau copot.

Matahari tampak bersinar di angkasa sana, tapi karena rona kelabu menguasai udara, itu tak cukup terang untuk mencukupi pengelihatanku ke sekitar.

Aku tak tahu kenapa, dari atas sini, ibu kota terlihat sedikit berbeda. Atap kediaman penduduk ditumbuhi gulma sebentuk Amber Noyes berbuah terong, atap deragemnya memiliki cerobong dengan mulut yang lebih besar dan menyemburkan jelaga. Sayangnya asap perapian itu juga mengepul di udara dan membatu. Waktu rasanya diberhentikan.

Arsitektur mereka bahkan tampak asing dan kolot.

Rumah-rumah di ibu kota tidak berdempetan. Aku menyaksikan sebagian lahan masihlah berupa sawah yang menguning dengan terasering berlandaskan batu kali, pagar eboni, dan persemaian tanah. Adapun banyak sekali kebun tomat, wortel, turnip, dan peternakan. Tomat-tomat itu ditanam di kerangka kayu berpilar tiga, dan buahnya besar-besar. Turnip ditanam tidak di jantung ibu kota, namun di lahan basah daerah penghujan pada sisi terjal bukit pemisah ibu kota dengan distrik terdekat; daun-daun turnipnya bertunas lebat, dan memekarkan bunga warna kuning, sedangkan turnipnya dikandung dalam tanah, namun menyeruak keluar karena ukurannya jumbo. Begitu juga wortel. Sedangkan peternakan tampak sebagai petak-petak pagar di kontur tanah landai pada sekat-sekat lembah.

Aku tidak mengenali Pulau Rintis. Ini bukan Pulau Rintis.

"(Nama)." Ada yang memanggilku. Aku membalikkan badan. Di ambang pintu, kutemukan wajah yang familier.

"Solar?" Aku mengidentifikasi. Warna mata Solar abu-abu. Tapi tampak bermandikan cahaya otentik. Bahkan tangannya terangkat sejajar dada dan menciptakan pusaran cahaya kekuning-kuningan. Cahayanya amat eksentrik, dan begitu kuning—sehingga zat itulah yang menjadi sorotan di antara lingkungan pualam ini.

Ikutilah cahayanya.

Aku mengingat nasehat si penyihir bertopi kerucut dan bagaimana ia menekankannya padaku.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku. Kurasa Solar mengenaliku, dan menjadi satu-satunya yang dapat diajak bicara selain kehampaan di sekitar sini.

"Kamu akan tahu setelah kita melihat-lihat." Kata Solar. Ia menyuguhkan senyum. "Terimakasih karena sudah ingin tahu."

"Apa ini?" Aku merentangkan kedua tanganku di udara, "kenapa waktu seolah berhenti?"

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now