- 25

818 132 90
                                    

Apa yang kudapatkan dari membunuh Yaya ialah kekalahan. Ini kekalahan pertamaku.

"Aku minta maaf." Kata Sopan. "Mereka terlalu banyak untuk dibendung."

Aku tidak berniat menyalahkan siapapun. Aku tidak hadir di perang itu. Aku tak tahu ada landasan yang cukup kuat untuk mempersalahkan garda depan.

Setelah menembus benteng, Gogobugi langsung membawa kavalerinya ke jantung ibu kota untuk menyambutku di Grand Palace. Pantas saja suara dentum gerombolan kuda mereka terdengar dari radius satu mil. Nyatanya, ketika kulihat melalui balkon, mereka berjumlah sekitar sepuluh batalion.

"Siapa yang membantu mereka?" Tanyaku.

"Kontinen. Seluruh benua membantu Gogobugi." Sahut Sori. "Karena perserikatan perdamaian ingin menghakimi Pulau Rintis."

Aku mengelus dagu, dan memerhatikan wajah itu. Kaizo. Aku membencinya jauh lebih parah ketimbang aku membenci oregano dan cabai setan. Dia ada di sini. Dia turun dari kudanya. Wajah-wajah yang tak asing juga menyertai kehadirannya. Contohnya, seperti ... Hang Kasa, si kakek tua pecandu bela diri itu. Ya. Dia mampir dan bertamu. Padahal dia tidak berkeperluan apapun denganku. Aku tak menjalin hubungan pada Quabaq.

Hang Kasa angkat bicara duluan, "bisakah kamu menghentikan kegilaanmu?"

"Baik. Mari bicara di dalam. Aku akan menyedia—" tenggorokanku tercekat. Aku merasa sangat terbakar jauh di dalam sana. Rasanya sakit, panas, dan perih sekali. Aku sampai memegang tenggorokanku, merasakan apakah leherku masih utuh atau tidak. Aku ingin segera muntah karena siapa tahu itu bisa membantu. "Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku tetaplah ratu di sini."

Aku memejamkan mata. Ketika mataku terbuka lagi, aku melihat ke tanganku. Benang merahnya muncul. Aku melirik ke kiri, dimana pilar super besar Grand Palace yang terbuat dari batu onik memantulkan bias bayangan tubuhku. Leherku diikat oleh cukup banyak benang.

"Kenapa, Ratu? Mereka bersedia bicara." Glacier mencicit.

"Ya. Aku juga mau bernego. Tenang. Tapi ada yang perlu kuurus sebentar. Mohon tunggu." Aku menautkan tangan di atas perut. Kenapa? Kenapa aku berkata begitu? Apa yang mesti kuurus lebih dulu? Kurasa tidak ada.

Angin terasa sangat panas. Matahari hendak terbenam. Tanda-tanda pergantian musim telah tiba.

Aku membalikkan badan dan pergi ke kapel. Aku menaiki anak tangga demi anak tangga menuju peraduanku. Aku tak tahu, kenapa aku pergi ke sana. Tapi benang ini rasanya menarikku.

Setelah aku sampai di peraduanku, aku menghembuskan napas gusar. Aku sangat pusing. Kenapa aku berprilaku aneh dan gerakan tubuhku sendiri sulit di kontrol? Kupu-kupu morpho menyambutku di atas cermin kacanya Supra.

Kuputeri belum terbebas dari kutukannya. Ramalannya Qually dan kutukannya Ying sedikit agak melenceng. Karena Boboiboy menolak memenuhi takdirnya. Kurasa dia tidak menyentuh Sang Lupin, sebagaimana yang semestinya diperbuatnya. Cinta sejati itu bisa saja menyelamatkannya dari intrik bulan purnama. Tapi, kenapa? Aku tak cukup pintar untuk memahami Boboiboy.

Aku mendekat pada kupu-kupi morphonya.

"Aku tahu kenapa kamu marah." Kataku. Kupu-kupu morpho itu marah. Ia menjadikan Supra terjebak dalam cermin sebab kupu-kupu morpho hendak mencegah terjadinya penyimpangan di ramalannya. Si Ying sudah memepertimbangkannya; seperti apa kutukannya akan dipecahkan, dan alur-alur pokoknya, supaya orang-orang di dalamnya berakhir baik. Maksudku, setidaknya, Sang Pangeran dan Sang Penyelamat bisa dibebaskan dari kutukan menahunnya. "Makanya kamu mengungkung Supra ke cermin."

Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya. Tapi tak bergeming dari bingkai kuningan cerminnya Supra. Aku paham bagaimana gondoknya Kuputeri ketika Supra bermaksud mencacatkan ramalannya dengan menyukai Sang Tenung Jahat sedari awal. Ya. Kalau tidak salah, Supra sudah melamarku sejak usia enam tahunan. Aku masih sangat kecil untuk menerima tawarannya, tapi aku juga terlalu bodoh, makanya aku menyanggupinya dengan pinky promise.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now