- 11

617 126 78
                                    

Tidak akan ada perang teluk lagi. Kaizo sudah lelah menyergap Pulau Rintis dari jalur laut. Raja itu belajar dari kesalahan. Aku mengerti mengapa. Kami, Pulau Rintis, tidak terkalahkan di lautan. Nenek moyang kami pengarung samudera, pembuat peta dunia di atas perkamen-perkamen papirus. Bahkan perang teluk terakhir diisi adegan solid antara lima puluh kapal tongkang Pulau Rintis melawan dua ribu armada kapal fregat bertenaga batu bara milik Gogobugi. Dan dengan perbedaan sejauh itu, kami masih menang. Aku ingat bagaimana aku bertahan di geladak kapal yang rig sekunarnya compang-camping sambil membasmi lusinan pengangkat sauh Gogobugi. Padahal saat itu, aku pilek parah sampai lubang hidungku mampet satu.

Teknologi perkapalan kami tidak mendeterminasi. Kami hanya lihai dan terlalu akrab dengan perairan. Kami berani menari polka sampai jungkir-balik sembari meminum airag yang dipanaskan pada kendi bercerat di atas dek kapal berkecepatan lima puluh knots tanpa mabuk laut.

Kali ini, meninjau dari bagaimana Kaizo menghiasi invanterinya dengan ketapel raksasa dan ribuan tembakan peluru meriam karbit, aku yakin, Kaizo akan memerangi aku dari dimensi lain; daratan. Pulau Rintis pada dasarnya dikelilingi oleh benteng karst yang direkatkan pada kapur atau pasir. Pondasi itu tidak mudah dijebol oleh sunduluan kuda Troya atau jenis artileri konvensional apapun.

Tapi ...

Peluru 800 pon hingga 1.200 pon yang ditembakkan oleh meriam milik Kaizo, kurasa akan merobek dindingnya. Saat aku dikejar-kejar tentaranya Kaizo dan memanjat naik pada bangunan arketipe di sisian benteng, aku memperkirakan, pelurunya berbobot lebih dari 800 pon. Aku sangat yakin. Diameternya besar. Daya ledaknya tinggi. Habis lah aku.

Aku menatap Kirana tanpa minat, lalu bicara blak-blakkan, "Kenapa kamu berpihak padaku?"

Secara teknis, dan sejujurnya, yang memulai pertengkaran dengan tetangga ini adalah aku, ratu congkak nan sombong; kala itu aku merasa terlalu berkuasa, seakan kontinen dapat bergerak di bawah kesewenanganku. Aku mengibarkan bendera perang pada Gogobugi sepihak. Dan terjadilah perpanjangan permusuh-musuhan.

"Aku tidak tahu." Jawab Kirana. "Naluriku mengatakan, Pulau Rintis ini unggul."

"Nyatanya tidak." Aku menjawab terang-terangan. "Kami lemah di daratan. Dan Kaizo akan menginvasi dari darat."

"Aku terlanjur membelamu di perang teluk sebelumnya." Kirana menyilang tangan. Ia duduk menyilang kaki di cabriole, menghangatkan diri ke dekat keletak api perapian. Baiklah. Sekarang, selain es, aku juga trauma pada api. Aku tidak terlalu ingin dekat-dekat pada hujan salju, atau panasnya api perapian, tubuhku merespon dengan berbagai respon penolakan. "Lagi pula kini aku punya dendam kesumat. Kaizo nyaris membunuhku tempo hari."

Aku mengangguk, "Benar. Benci sajalah orang itu."

"Permisi, Yang Mulia." Gopal, seperti di hari-hari biasanya, memanggil aku di tengah-tengah aktivitas diplomasiku. Aku menoleh pada gorden yang disibak. Gopal tengah menunduk seraya meletakkan telapak tangannya di dada selaku salam.

Aku membalikkan tubuhku sepenuhnya dan lagi-lagi membiarkan Kirana menunggu dibuatkan teh ronde ketiga semenjak kami memperbincangkan kebusukan Kaizo setelah makan malam di House of Lords.

"Qually sudah ada di beranda House of Lords. Menunggu perintahmu untuk masuk." Umum Gopal.

Aku melirik pada Kirana, "Kirana, aku permisi sebentar."

Kirana lalu berdiri, dan memasang mantelnya di kedua pundaknya, dan mengancingi fabrik itu supaya ia tidak kedinginan. Kemudian, Kirana memungut suluh minyak tanah dengan tali upet terpelintir di dalam kaca cembuh pada meja, dan mengangkatnya ke udara, "Aku juga mau tidur. Aku pamit."

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang