- 12

673 131 25
                                    

Taufan mendekatkan wajahnya ke telingaku, "Kirana."

Telingaku berdenging panas. Aku berbalik, aku ingin mengonfrontasi Taufan dengan membentaknya. Namun Taufan tidak ada. Pundakku ada yang menepuk di belakang.

"Ha ha ha, (Nama). Mau tahu sesuatu?" Taufan seperti mempermainkan aku. Aku memutar tubuhku, mencari keberadaannya. Tapi, nihil. Ada terlalu banyak material yang beterbangan pada pusaran angin di sekitarku. Angin berisik itu mericuh dan mengitari aku, seperti kumparan bertenaga eksogen.

Aku memerhatikan, dimana angin topan ini meninggalkan celah. Kendati begitu, aku tidak bisa menjumpai sedikit pun cara untuk melepaskan diri dari pusarannya.

Kepalaku pusing. Anginnya membawa proyektil. Batu sedimen. Kerangka pohon; ranting patahnya, atau serpihan rongga pada batang pohonnya, gumpalan salju, potongan es dari ice spike tajam. Aku dikelilingi benda-benda membahayakan itu. Anginnya kian menjadi, anginnya membongkar sebongkah pohon yang tertanam cukup dalam di tanah, dan membawanya pada pusaran. Tidak hanya satu, namun puluhan pohon mapel terombang-ambing dalam gelombang putarnya.

Selain pohon, saljunya pun terangkat. Bahkan tanahnya juga begitu. Angin ini merusak struktur hutan musim gugur, memporak-porandakannya tanpa ampun. Aku tertegun. Aku hanya berdiri membisu, seraya memerhatikan komponen hutan musim gugur terseret melambung melalui aliran angin. Sebab berlari ke semua arah mata angin pun ialah keputusan membunuh diri sendiri. Tanah dimana aku berpijak ialah lokasi paling stabil. Aku berada di sentra angin yang bertandang membabi buta.

Aku tidak tahu ada dimana Taufan. Tetapi aku menyaksikan ada pergerakan yang begitu tenang. Bayang-bayang sesosok laki-laki berdiri tepat seperempat mil dari sini. Eksistensinya disamarkan oleh semaraknya siklon dan substansi yang dibawanya.

Anginnya surut pelan-pelan. Aku yakin. Namun angin itu tidak mengembalikan apa yang telah direnggutnya dari bumi; pohon-pohon, salju, gerobolan pansy, dan sekomunitas tanaman berbonggol. Sepeninggal anginnya, hutan musim gugur dalam radius seperempat mil, menyisakan tanah rata, bahkan tanpa adanya sebutir pun salju.

Namun ada hal lain. Seonggok kristal tetragonal warna biru indah tiba-tiba nampak di pengelihatanku. Kristal itu tidak muncul darimana pun. Badai angin hanya menyingkirkan berbagai penghalang yang menyembunyikan kristalnya. Aku mendekat dan berjongkok. Kristalnya berukuran setinggi tiga jengkal tanganku, dan benda indah ini dikelilimgi pelat heksagonal dan bunga es. Aku menelisik lebih lanjut. Ini memang es. Esnya membekukan ... benda di dalamnya, mengungkungnya, seolah mengawetkannya—menjaganya dari cuaca dengan pendinginan super.

Ada bunga di dalamnya. Bunganya cantik, mirip asparagus. Satu batang bunga ini, memiliki empat lembar daun. Bunganya seperti lonceng warna biru tua. Aku mengenali bunga ini. Di tengah kelopaknya, tumbuh kapsul oval—putik itu akan menjadi ungu ketika matang, terbelah, dan melepaskan bijinya ke tanah, menumbuhkan kecambah baru. Yaya sering memetiknya di taman belakang istana tiap kali peralihan antara musim semi ke musim panas. Bunga ini, menandakan berakhirnya musim semi.

Ia tidak semestinya tumbuh ketika salju masih melingkupi Pulau Rintis.

Meskipun dibekukan, aku dapat mencium aroma manisnya. Lebah akan menyukai harum yang menyenangkan ini.

Kurasa ia satu-satunya bunga yang bertahan karena anomali sihir. Karena setahuku, berdasarkan pengalamanku menonton Yaya dari balkon kastel saat putri itu sedang memanen umbi-umbian, spesies ini tumbuh secara invasif, bergerombol, dan jumlahnya akan sangat banyak pada satu area.

"Indah tidak?" Taufan muncul tepat di depan. Aku memaku pandanganku pada wajahnya dengan sedikit membusungkan dagu dan mendongak.

Taufan ikut-ikutan berjongkok. Ia mengembuskan kepulan asap beruap dari mulut, sama seperti aku. Aku masih ingin mempertanyakan banyak hal; mengapa ia menyebutkan nama Kirana secara gamblang, apa pentingnya ia menyapu bersih lahan dan seakan memintaku untuk datang pada kristal ini, dan siapa Taufan sesungguhnya. Apakah ia benar-benar Sang Pemberontak, di malam itu?

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteWhere stories live. Discover now