4

2.1K 357 57
                                    

"Siapa yang kita tunggu pukul empat pagi? Di gerbang kompleks perumahan antah berantah gini? Ini sih jin juga nggak tega buang anak di tempat terpencil begini."

Harris melirik ke spion tengah, menatap Sari, ibunya, mengenakan jaket tebal. Dalam setengah jam, mereka harus sudah berangkat ke bandara. Sari akan pergi bersama teman-teman paruh bayanya untuk tamasya belanja ke Bangkok.

"Sedang menunggu Mia," jawab Harris pendek, dan jawaban itu cukup untuk membuat Sari tidak gelisah dan bertanya-tanya lagi. "Dia cuma punya waktu sekarang. Dia tadi ada klien jam tiga pagi, lalu pulang dan katanya harus pergi lagi ke luar kota pagi-pagi."

"Oooh..." Sari terkekeh kecil. "Kalau bukan karena Mama tahu Mia kerja sebagai penata rias, serem juga dengar jam tiga nerima klien..."

Harris melirik lagi dari spion. "Istilahnya sekarang sudah bukan penata rias lagi, tapi MUA, Ma."

Sari mengibaskan tangan. "Sama aja." Setelah berkata begitu, Sari membuka ponselnya dan mulai sibuk sendiri.

Mungkin harusnya Harris mengatakannya sejak awal, tapi sejujurnya Harris enggan karena dia mengira Mia sudah akan ada di tempat yang dijanjikan ini, jadi Harris bisa dengan cepat menyelesaikan urusannya tanpa mengundang pertanyaan dari Sari. 

Ibunya itu sudah terbiasa tutup mata akan kelakuan Harris selama ini. Sebaliknya, Harris juga selalu berusaha untuk tidak mengomentari hidup ibunya.

Harris melirik arlojinya. Sudah lewat sepuluh menit, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran Mia di gerbang kompleks ini.

Ini tidak biasanya, Mia hampir tidak pernah terlambat. Malah, seringnya Mia yang tiba duluan, menunggu Harris. Harris melirik ke jalan masuk kompleks itu dan mengetukkan jemarinya ke roda kemudi, berpikir-pikir apakah dia harus masuk ke dalam dan mendatangi rumah Mia. Mia memang yang menyuruh Harris menunggu di gerbang kompleks ini, alasannya karena jalan masuknya yang sempit dan pas jamnya dengan Mia harus keluar menemui klien. 

Sudah dua bulan berlalu sejak kematian Fajri, dan selama dua bulan ini Harris menepati janjinya untuk membantu dan mendampingi Mia melakukan penjualan aset-aset Fajri agar Mia bisa melunasi hutang-hutang ayahnya.

Usaha mereka sudah memasuki tahap akhir. Hampir 90 persen aset bisnis Fajri sudah terjual atau ditawarkan di pasar. Sementara itu, sudah 80 persen hutang Fajri lunas.  

Banyak yang terjadi selama dua bulan belakang ini, termasuk Mia yang memutuskan pindah dari rumah keluarganya yang luas dan asri di jantung kota Bogor lalu mengambil KPR rumah bersubsidi di daerah Parung, yang lebih dekat ke wilayah Tangerang daripada Bogor. 

Rumah keluarganya kini dikontrakkan jadi kafe dan butik, Mia bilang lumayan untuk menambah-nambah pendapatan. Mia kini jadi asisten MUA, dan itulah mengapa mereka bertemu di jam aneh ini. Harris menyimpan Mia dalam kontak WhatsApp, mengikuti Instagram dan nyaris semua sosmednya dan tidak ada hari tanpa Harris melihat Mia melakukan sesuatu untuk mencari uang. 

Kadang Mia menjadi reseller makanan, kadang Mia menjual setelan daster atau piama. Lalu setelah berjualan, satu dua hari kemudian Mia akan menunjukkan puluhan resi pengiriman. 

Harris belum pernah melihat ada orang dengan kegigihan sekuat Mia--selain tentu saja, Harris sendiri. 

Keluarga Mia bukan orang sembarangan, kakeknya mantan Sekretaris Daerah, satu orang bibi dan satu orang pamannya menjabat sebagai direktur bank provinsi. Sepupu dan saudara Mia yang lain, seingat Harris, semuanya sudah mapan dalam pekerjaan, baik di Bogor atau Jakarta. Kalau keluarga besar mereka urunan untuk menghidupi Mia dan adiknya, Harris yakin bisa-bisa saja. 

Sesuatu dalam hati Harris rasanya terpuntir tiap kali melihat Mia yang mencari uang dengan segala cara. Tiap kali statusnya tentang jualan, atau pukul 2 pagi sudah merias klien.

Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang