Setelah Sandy pulang, Harris bertanya apakah Mia sudah makan. Mia menggeleng dan Harris bertanya apakah ada sesuatu yang ingin Mia makan malam itu. Mia ingin makan di warung lesehan gudeg yang ramai yang buka beberapa ratus meter dari rumahnya. Lokasi warung itu sangat tidak strategis dan minim lahan parkir, sehingga baik Harris maupun Mia sepakat untuk berjalan kaki ke sana.
Setelah pamit pada saudara-saudaranya yang lain, Mia dan Harris keluar dari rumah dan berjalan dalam diam. Sudah hampir pukul sepuluh malam, jadi lalu lintas sudah tidak terlalu ramai.
Mia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Atau lebih tepatnya, pikirannya terlalu penuh sehingga dia tidak bisa mengurai pikirannya satu per satu. Yang dia lakukan hanya termangu.
Angin malam berembus kencang saat Harris dan Mia sedang berjalan di bawah pohon peneduh jalan. Sisa air hujan yang masih ada di permukaan dedaunan ikut terbawa angin dan turun seperti hujan yang amat tipis.
Harris menggunakan telapak tangannya untuk menutupi puncak kepala Mia. Mia menoleh dan mendongak ke arah lelaki di sampingnya itu.
Harris tersenyum sopan dan menarik kembali tangannya. "Maaf, aku tahu itu tidak terlalu berguna."
Mia kembali menatap ke depan dan mereka berdua melanjutkan perjalanannya tanpa bicara lagi.
Sekali lagi Harris melirik ke arah Mia.
Hidup manusia bisa berubah, Harris percaya itu.
Harris yang sekarang dengan Harris empat tahun lalu sama sekali sudah berbeda.
Tapi bahkan saat perubahannya terjadi perlahan, sedikit demi sedikit, hari demi hari, Harris masih sulit percaya ini hidup yang dia jalani.
Tiap bangun pagi, di kamarnya yang luas, di rumah mewah yang dia miliki, Harris sering termangu sejenak, apakah ini benar-benar hidupnya sekarang?
Apakah selimut berat yang menutupi tubuhnya, yang terasa dingin dan halus ini benar-benar miliknya? Beserta semua furnitur, maupun segala barang di dalamnya?
Warung gudeg yang jadi tujuan mereka masih sekitar sepuluh menit berjalan kaki dan dengan ekor matanya, Harris mencuri pandang ke arah Mia.
Lampu jalan yang temaram tidak memberi cukup cahaya untuk mengamati Mia, tapi tadi saat mereka masih di rumah Harris bisa melihat betapa pucatnya gadis itu. Bertepatan dengan Harris melirik ke arah Mia, langkah Mia terlihat goyah dan dia hampir tersungkur ke depan.... kalau bukan karena lengan Harris yang menarik Mia ke dalam pelukannya.
***
Dulu saat Harris masih menjadi supir pick-up sewaan, almarhum Fajri beberapa kali menggunakan jasanya. Harris pernah beberapa kali melihat anak sulung Pak Fajri itu, duduk melamun di teras kantor ayahnya, menunggu Pak Fajri selesai bekerja.
Pada Mia, Pak Fajri memperkenalkan Harris pada Mia sebagai rekanan usaha, memberi kesan hubungan kerja mereka setara.
Harris masih ingat ketika Fajri pertama kali memperkenalkan Mia padanya. Sore itu di bulan Juli, turun gerimis tipis. Tapi pembawaan Mia tetap hangat dan ceria, dia mengenggam tangan Harris yang kapalan dengan erat, tanpa sekalipun terlihat rikuh, dan memperkenalkan dirinya pada Harris.
Dalam beberapa hal, pembawaan Mia amat mirip dengan papanya.
"Sekarang beliau ini memang masih merintis, tapi lihat aja nanti Mbak, Mas Harris pasti jadi orang sukses," kata Fajri, tawanya menggelegar sambil menepuk-nepuk bahu Harris. "Pokoknya kalau lihat Mas Harris ini Papa selalu ingat waktu Papa muda dulu, pekerja keras, kayak buldoser semua halangan diterabas, " kata Fajri masih tertawa, sembari menepuk perutnya yang buncit beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Segar
RomanceSelepas kematian ayahnya yang mendadak, Artemia Mudita memilih menerima pinangan Harris Teguh Prawira. Menjadi istri Harris membuat Mia bisa memastikan Killa, adiknya, tetap berkuliah karena harta keluarga sudah dia rencanakan untuk membayar hu...