14

1.5K 341 50
                                    

"Ya mungkin dia bukannya benci atau gimana ke kamu, Mia... siapa tahu emang dia saking naksirnya sama kamu, sampai panas dingin kalau dekat-dekat sama kamu."

Mia meletakkan garpunya dan menatap Windy. "Ah, nggak lah... Kak Windy bilang begitu karena belum pernah ketemu Mas Harris. Dia tuh nganggep aku kayak saudaranya aja. Selama ini beneran bantuin, pokoknya kata Mas Harris walaupun di planet ini cuma tinggal kami berdua...." 

Kemudian Mia terdiam. Kalau di planet ini tinggal kita berdua... lalu apa? 

Rasanya Harris memang tidak pernah meneruskan ucapannya yang itu. Keburu dipotong kedatangan ibunya yang baru pulang belanja.

"Kalau di planet ini tinggal kalian berdua ya kalian kudu berkembang biak, lah... gila kali ya, masa umat manusia sampai punah cuma karena dia anggap kamu sebagai saudaranya," Windy membuat gestur mengiris dahi menggunakan jari telunjuknya, kode universal untuk 'sinting'. 

Mia tidak ingin meneruskan pembicaraan ini tapi kesulitan untuk mencari topik lain. Terlebih, karena Windy terlihat sangat tertarik dengan keluhan Mia soal kenalanku-mengajakku-tinggal-di-rumahnya-tapi-kemudian-mendiamku-berhari-hari.

Windy merupakan rekannya sesama MUA, tadi pukul sepuluh siang datang ke rumah Harris dan menjemputnya untuk pergi ke salon lalu makan. Sari sedang pergi, jadi Mia pamit dan menitip pesan ke Estin yang kebetulan sedang mencabuti rumput saat Mia melewati gerbang rumah Harris.

Ajakan Windy ini terasa amat menyegarkan bagi Mia, karena meskipun badannya  lemas, tapi kalau menuruti lemas terus, Mia merasa kesehatannya juga tak kunjung membaik. Perubahan suasana pasti akan sama berpengaruhnya dengan vitamin-vitamin yang dia konsumsi untuk mengembalikan stamina. Terutama, Mia tidak sabar ingin mendengar cerita Windy, barangkali Windy punya gosip atau cerita soal dunia per-MUA-an atau per-make up-an selama Mia tinggalkan hampir dua minggu ini.

Cerita soal sakitnya Mia dan bagaimana Mia berakhir tinggal di rumah Harris tadinya Mia maksudkan hanya selingan saja, tapi Windy selalu berkomentar, 'Terus, terus?' dan seperti bendungan yang jebol, Mia bercerita semuanya tanpa ada satu pun yang ditutupi.

Bahkan bagian Harris menciumnya demi meyakinkan Killa, juga Mia ceritakan pada Windy.

Kini, dengan makan siang sebagai penutup perjumpaan mereka, Windy sudah sepenuhnya berinvestasi pada cerita Mia.

Hanya saja, sepanjang cerita Mia, Windy terus-menerus mengomentari perilaku Harris. Windy selalu mengatakan bahwa perhatian dan kebaikan Harris tidak sepenuhnya berasal dari kebaikan hati dan budi pekerti. Mungkin awalnya iya, tapi belakangan, pasti ada perasaan yang terlibat.

Windy terus-menerus berkomentar begitu, tak peduli betapa datar dan santainya Harris dalam cerita Mia, selalu dilihat dari kacamata romantis oleh Windy.

Mia sampai bingung sendiri... seolah Harris yang ada di pikiran Windy dan Harris yang dikenal Mia adalah dua orang yang sama sekali berbeda.

***

Windy mengantar kembali Mia ke rumah Harris pukul setengah satu siang. Perut Mia sudah kenyang, rambutnya sudah wangi, dan kukunya termanikur sempurna.

Karena agak mengantuk, Mia jadi bersandar dan memejamkam mata di perjalanan pulang. Mia baru benar-benar membuka matanya saat dia merasakan Windy mengguncang lengannya.

"Mia, Mia, itu Mas Harris-mu, bukan?"

Mobil Windy masih sekitar tiga ratus meter dari rumah Harris, tapi Mia bisa melihat tubuh lelaki jangkung itu, berdiri di depan pagar rumah. 

Tangan kanan Harris menempelkan ponsel di telinganya, sementara tangan kiri lelaki itu berkacak di pinggang. Gestur tubuh Harris terlihat gelisah. Dia menurunkan tangan untuk mengecek layar ponselnya, menekan layar, lalu kembali mendekatkan ponselnya ke telinga.

Mia baru ingin berkomentar, kenapa Harris menelepon seperti orang kesetanan, ketika mobil Windy tiba-tiba berhenti di depan Harris--atau lebih tepatnya di gerbang pagar rumah Harris.... dan ponsel di tas Mia mendadak berbunyi.

Mia seketika memahami sesuatu, dan raut mukanya menggelap.

Mia mengambil ponsel dari tasnya. Nama kontak Harris terpampang di layar ponselnya.

"Halo?" panggil Mia, menerima telepon dari Harris.

Di samping mobil, Harris menunduk, mengetuk jendela mobil penumpang, yang kemudian diturunkan oleh Windy. Mia tak bisa melihat ekspresi Windy, tapi pasti Windy pasti senang sekali dapat tontonan gratis siang ini, Mas Harris in action.

Jendela mobil penumpang turun perlahan.

Baik Mia, maupun Harris, sama-sama menempelkan ponsel di telinganya, kini wajah mereka berhadap-hadapan, tanpa ada kaca jendela mobil yang menghalangi.

*** 

"Tapi aku sudah bilang sama Mbak Estin," kata Mia pelan.

Harris yang sedang menjejalkan tangannya di kantong celana sembari membelakangi Mia dan menghadap ke arah halaman belakang, hanya berdiri mematung. Dia sama sekali belum merespons ucapan Mia.

"Aku lupa belum mengisi paket data Internet, ponselku masih aku pasang mode pesawat... telepon dari Mas Harris baru masuk pas aku sudah dekat rumah karena hapeku sudah ada di jangkauan WiFi rumah." Mia kembali berusaha menerangkan. "Aku nggak tahu kalau Mbak Estin pergi juga, andai aku tahu, pasti aku ninggalin notes di kulkas atau di meja dapur.."

Harris akhirnya berbalik dan dengan langkah pelan, dia duduk di sofa di seberang Mia.

Harris mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Ibu sedang tidak bisa dihubungi. Mbak Estin pergi tidak bawa hape. Aku hanya kaget karena rumah kosong melompong, dan kamar kamu terkunci... Aku pikir...." 

Mia menatap Harris, menunggu Harris menyelesaikan ucapannya.

Saat Harris tak kunjung bicara, Mia yang meneruskan, "Mas Harris mengira aku sudah kembali ke rumahku lagi?" tanya Mia.

Harris terlihat membeku sejenak, sebelum mengangkat wajahnya dan menatap Mia.

Wajah lelaki itu terlihat lelah. Tak mengherankan, mengingat Harris selalu pulang larut malam, karena ada salah satu usahanya yang sebentar lagi dibuka.

Tapi Mia jadi menyadari, selama Mia tinggal di rumah Harris, Mia memang benar-benar jarang melihat wajah lelaki itu. Bahkan Mia masih lebih sering melihat Harris saat mereka masih mengurusi penjualan aset ayahnya daripada sekarang.

"Ngomong-ngomong soal rencanamu itu..." kata Harris sembari berdeham. "Bisakah kita membicarakannya terlebih dahulu, sebelum kamu mengambil keputusan?"

"Oke," kata Mia, mengangguk. Mengira Harris akan membicarakannya sekarang juga, saat ini juga.

Harris menggeleng. "Bagaimana kalau kita membicarakannya besok, sambil makan malam?"

Mia mengernyitkan dahi. "Kenapa harus sambil makan malam?" tanya Mia.

"Agar apa pun yang akan jadi keputusanmu nanti, diputuskan dalam hati yang tenang."

"Sekarang juga hatiku tenang, kok," kata Mia.

Harris memijat dahinya, lalu mengempaskan badannya ke punggung kursi. "Oke, Mia, aku mempercayaimu, tapi aku tidak mempercayai diriku sendiri. Kalau kita bicarakan ini sekarang, aku yang sedang tidak tenang, oke?" kata Harris sembari tertawa gusar.

Mia menatap Harris. "Tidak tenang kenapa? Karena dari tadi Mas Harris mengira aku sudah pergi dari sini?" Mia bertanya lagi.

Harris yang masih bersandar di punggung kursi, kini meletakkan lengannya menutupi mata, tapi lagi-lagi, dia tidak menjawab pertanyaan Mia itu.

***




Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang