22

4.6K 543 57
                                    

Killa pulang ke kosnya tepat satu jam setelah Mia menerima telepon dari Harris.

Saat Killa pulang, Mia sudah berdiri mondar mandir di kamar yang tidak terlalu luas, tangannya mengepal dan ponselnya ada di telinga.

Killa langsung menurunkan tote bag yang masih tersampir di bahunya ke ranjang, "Kak, kenapa?"

Raut wajah Mia terlihat sedikit pucat, tapi ekspresinya penuh kekesalan. Agak menyeramkan tapi ini lebih baik daripada ekspresi kosong Mia saat datang kemarin.

"Aku sedang mencari travel untuk pulang, tapi hampir semua baru jalan nanti malam," Mia menjelaskan dengan frustrasi.

Killa agak kaget, mengira Mia masih akan lama di sini. Terlebih lagi tadi malam Mia terlihat mual-mual dan masuk angin, setidaknya Mia bisa istirahat dulu untuk memulihkan kesehatannya. Di atas segalanya, Killa suka kalau ada kakaknya di sini.

Tapi Killa tahu kalau kakaknya sudah mengambil keputusan, akan sulit sekali dibujuk.

"Kan baru sehari Kak, kok cepet banget mau balik lagi?" tanya Killa sambil duduk di tempat tidur, melirik ke arah koper dan tas Mia yang sudah dikemas rapi di dinding dekat lemari.

 Mia menghela napas. "Tadi Mas Harris telepon tapi ngomongnya ngelantur, habis itu aku telepon lagi nggak diangkat. Aku nggak suka deh kayak gini, dari kemarin udah susah dihubungin juga..."

Killa menggaruk pelipisnya. 

Sebagai orang yang sering dihubungi Harris kalau Mia sulit dikontak--dan belakangan makin sering terjadi--Killa tak mengerti mengapa kakaknya seresah ini saat Harris baru sulit dihubungi sehari ini saja. 

Tapi Killa tidak mungkin berkata blakblakan, itu urusan rumah tangga Mia, dan Killa tidak akan ikut campur. 

Killa hanya bisa memberi solusi lain. "Kak Mia sudah telepon supir rumah?" tanyanya.

Mia menggeleng. "Minta dijemput, gitu? Tapi nanti sama saja kayak naik travel yang berangkat malam, itu pun masih harus bikin repot orang lain..."

Killa menimbang sejenak. Badannya masih belum pulih benar, tapi jauh lebih mending dari hari-hari sebelumnya. Ke Bogor cuma butuh waktu tiga jam, bolak balik cuma enam jam... Besok dia tidak ada kuliah jadi masih ada waktu satu hari untuk istirahat. Dia tidak akan bisa menyetir selama itu, tapi dia bisa minta tolong ke Ray, teman dekatnya.

Jadi Killa menawarkan pada Mia, "Mau diantar sama aku dan Ray, nggak? Tapi aku pulang pergi ya."

***

Petang menjelang matahari terbenam, Melki sedang tidur-tiduran di sofa, matanya nyalang menatap langit-langit. Pantulan air aquarium berbayang di plafon, membentuk pola abstrak yang masih bergerak. Sekujur tubuhnya sakit, dia tidak berminat nonton TV atau memegang ponsel. Melki juga berencana untuk tidak bekerja selama seminggu ini.

Lalu suara bel pintu terdengar.

Melki duduk seketika, dadanya berdebar kencang dan keringat dingin menitik di bahunya. 

Kejadian kemarin malam berkelebat di benaknya. Rasa sakit di badannya terasa sakit berkali-kali lipat. Dia tidak punya lubang pengintip di pintunya dan Melki takut yang mendatanginya ini adalah preman yang datang semalam, mungkin menyesal karena korban-korbannya masih hidup dan ingin menuntaskan pekerjaannya...

Sekali lagi, bel pintu berbunyi.

Melki masih membeku di sofa, kepalanya menoleh ke arah pintu depan.

Lalu terdengar suara ponsel berdering sekaligus bergetar di meja kaca.

Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang