3

2.3K 397 21
                                    

Tadinya Mia hanya berniat memesan mie rebus dengan telur saja, tapi Harris berkeras agar Mia makan nasi walaupun cuma sedikit.

Mia sedang tidak punya tenaga untuk menolak, jadi Mia membiarkan Harris yang memesankan makanan untuknya. Telur dadar dan sepotong sarden di atas nasi yang mengepul hangat tersaji tak lama setelah mereka duduk. Beberapa orang yang sedang makan juga di warung kecil itu, sementara TV di tembok menyiarkan acara talkshow politik, satu-satunya yang menonton hanya penjaga warung mie instan itu.

"Mas Harris nggak makan?" tanya Mia.

Harris hanya menatap Mia tanpa berkedip. Melirik ke arah piring Mia yang hampir licin tandas. Mia menunduk agak malu. Dia menghabiskan makanan di hadapannya hanya dalam waktu lima menit saja. Tapi dia memang lapar sekali. Mungkin tadi badannya lemas dan kepalanya pusing berputar karena perutnya kosong sedari tadi.

"Kapan kamu terakhir kali makan?" tanya Harris.

Mia meletakkan sendoknya ke piring yang sudah kosong. "Mungkin... tadi pagi?" jawab Mia setengah berdusta. Nyatanya, dia memang sama sekali lupa kapan terakhir kali dia makan secara benar dan proper. Seingat Mia, hari ini dia hanya mengambil tiga kacang kulit dari piring selamatan, lalu salak dan sepotong bolu.

Harris terlihat seperti tak percaya, tapi juga tak bilang apa-apa.

Mia merasa sedikit agak terkejut dengan ekspresi Harris itu. Mungkin karena selama ini dia hanya berurusan dengan lelaki-lelaki yang memiliki kepercayaan absolut  terhadapnya. Bahkan mantannya, Zaydan, sampai akhir hubungan mereka, selalu melimpahi Mia dengan kepercayaan dan penerimaan.

"Omong-omong, kenapa mas Harris bertanya soal hubunganku dengan Zaydan?" tanya Mia, kali ini sembari mendorong piring yang sudah kosong, dan mengambil gelas berisi teh hangat. Menyeruputnya pelan. Rasanya nyaman sekali.

Harris memutar tubuhnya dan kini menghadap Mia, sementara Mia masih tetap pada posisinya semula di bangku.

Harris menumpukan satu tangannya pipi. "Itu bisa kita bahas belakangan. Ini waktunya aku mengatakan apa yang tadi ingin kukatakan."

Mia menoleh pada Harris. Dia ingat ucapan Harris sebelumnya—Harris ingin mengatakan sesuatu, tapi pertama-tama dia ingin tahu status Mia dengan Zaydan.

Jadi Mia mengangguk. "Oke, katakanlah..."

Harris menghela napas. "Apa pikiran soal hutang-hutang ayahmu terlalu membebanimu sampai kamu sulit makan begini?"

Mia menoleh pada Harris, ekspresi wajah gadis itu seketika muram. "Papa punya hutang sebanyak itu dan aku tidak tahu. Selama ini beban dia begitu berat dan..." Air mata merebak di pelupuk mata Mia, jadi dia tidak mau melihat wajah Haris lagi, berusaha menenangkan perasaannya.

Mia belum berduka secara utuh. Sedikit saja tekanan membuatnya ingin meledak.

Dia sedang bekerja mendampingi pemotretan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, ketika mendapat telepon dari salah satu karyawan papanya; Mbak Mia, Pak Fajri tadi jatuh dan tak sadarkan diri. Sekarang sedang dalam perjalanan ke RSUD nanti Mbak Mia langsung ke sana saja ya.

Belakangan Mia tahu kalau kematian Fajri sudah dideklasikan sejak diangkat ke ambulan. Kuku dan bibirnya membiru dengan cepat.

Mia bekerja sebagai pekerja lepas di agensi periklanan, sebagai asisten penata busana. Posisinya tidak cukup tinggi untuk membuat pekerjaan hari itu dibatalkan, dan Mia harus pontang-panting mencari akomodasi untuk kembali ke Jakarta, dan dari Jakarta, dia langsung ke Bogor. Tiga hari ini hidupnya penuh kedukaan, ketakutan, ketegangan dan perasaan malu.

Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang