20

1.8K 348 77
                                    

Maaf, tadi pulangnya sempat jalan-jalan dulu. Nanti aku telepon besok ya....

Tangan Harris gemetaran saat mengetikkan kata-kata itu di ponselnya. Darah menetes di atas layar dan Harris mengusapnya sebelum memasukkan kembali ponselnya ke kantung baju batiknya.

Harris sedang duduk di tepi ranjang besi di bangsal IGD rumah sakit, suara tangis dam erangan terdengar. Di bangsal ini ada 19 ranjang dalam 19 biling yang terpisah oleh tirai-tirai. Dari 19 bilik, 11 diantaranya diisi rombongan yang datang bersama Harris. Teman-temannya. Istri-istri temannya.

Harris memejamkan mata. Perasaan sakit dan perih terasa di sekujur badannya. Telinganya pengar sebelah dan kepalanya pening. Harris berusaha tidak memikirkan terlalu banyak atau kalau tidak dia akan mulai berteriak sekencang-kencangnya. 

Tidak kuat lagi, Harris akhirnya merebahkan diri.

Belum lama Harris berbaring, seorang perawat membuka tirai di kaki ranjang Harris dan membiarkan dua orang polisi datang memasuki bilik. 

"Pak Harris," kata salah seorang dari mereka. Harris melirik bordir nama di dada polisi itu, Aldo dan Fahmi.

Dengan amat terpaksa, sembari memerangi perasaan pusing yang amat sangat, Harris duduk menyapa mereka berdua, menjabat tangannya. 

"Bagaimana luka Bapak?" tanya Fahmi, sembari menarik kursi di dekat ranjang Harris. Aldo sendiri hanya duduk di kaki ranjang.

"Sudah dijahit," kata Harris singkat.

"Mungkin Bapak harus dironsen juga... atau di-CT scan, katanya pelaku memukuli bapak-bapak sekalian menggunakan pipa besi?"

Harris bungkam.

Aldo angkat bicara. "Tapi dipukuli pipa besi mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang terjadi pada Bu Riana dan Bu Illona, mereka diseret ke semak belukar dan diperkosa berkali-kali."

Harris menggertakkan rahangnya. 

Dia masih ingat seloroh Riana tadi pagi soal Gusti yang memaksanya datang ke resepsi pernikahan. Suara Riana yang ringan dan ceria itu rasanya tumpang tindih dengan suara raungan dan lolongan Riana pada malamnya, memanggil nama Gusti, minta tolong dan menjerit kesakitan. 

Suara tangis dan teriakan Ilona, suara jerit kesakitan Riana, suara batu dan besi yang beradu dengan badan manusia... Harris akan mengingatnya untuk waktu yang sangat lama.

Fahmi berdeham kecil. "Gimana, ada yang Pak Harris ingat dengan pelaku yang menganiaya bapak dan teman-teman malam ini? Adakah ciri khusus? Apakah ingat diberhentikan di mana, agar kami bisa melakukan oleh TKP?" Sambil bicara begitu, Fahmi membuka buku saku catatannya.

Ada 4 van hitam yang memberhentikan rombongan kendaraan mereka tadi, dan meski Harris tidak kenal siapa pelakunya, Harris tahu siapa yang menyuruh mereka. Bukan hanya tahu, kalau mau, sekarang juga Harris bisa memberikan alamat rumahnya.

Tapi lalu apa? Tidak akan ada yang bisa dilakukan juga...

Dalam perjalanan ke sini, semua sepakat untuk tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. Tapi kebohongan akan terlalu rumit untuk dihapal dalam waktu yang singkat, pada akhirnya mereka hanya perlu mengatakan tidak tahu untuk semua pertanyaan yang akan dilontarkan polisi.

Tidak tahu.

Lupa.

Tidak jelas, keadaan kala itu gelap.

Semua berlangsung begitu cepat.

Hanya 45 menit, memang semua berlangsung begitu cepat....

Fahmi menoleh ke arah rak besi di samping ranjang, mengambil satu gelas air minum dalam kemasan botol. Dia meletakkan buku catatannya di rak besi, dan mengambil botol itu. Setelah membukakan tutupnya, Fahmi menyerahkan botol itu ke arah Harris.

Harris menerimanya tanpa banyak bicara, menggumamkan terima kasih samar dan meneguknya sedikit.

Fahmi mengambil kembali buku catatannya dan melirik ke arah Aldo. Aldo balik menatap Fahmi dengan penuh arti.

Fahmi memulai wawancaranya. "Apa ada sesuatu yang Pak Harris ingat dari kejadian tadi?" tanya Fahmi, dia memegang pulpennya, bersiap mencatat jawaban Harris.

Harris menatap Fahmi. 

"Suasananya tadi terlalu gelap...." jawab Harris singkat.

Fahmi kembali menurunkan pulpennya dan tersenyum. "Yah.... sayang sekali, yang lain mengatakan hal yang sama... tidak ada keterangan berarti yang bisa kamu peroleh," kata Fahmi.

Polisi muda itu menghela napas dengan dramatis. "Sayang sekali Bu Ilona dan Bu Riana belum sadarkan diri. Dokter memberi mereka obat penenang karena mereka terlalu histeris. Bagaimana tidak, mereka disakiti begitu rupa. Tidak ada barang yang diambil tapi disakiti begitu rupa. Jelas bukan begal, penyerang kalian pasti sungguh-sungguh ingin meneror kalian. Keadaan yang sangat menyedihkan.... Orang yang paling optimis pun tidak bisa mengatakan 'untungnya...' dalam keadaan seperti ini.."

Aldo menyela ucapan Fahmi, "Untungnya perempuannya cuma dua.... kalau lebih banyak lagi, mungkin korbannya juga bertambah..."

*** 

Aldo dan Fahmi berjalan pelan menyusuri koridor keluar rumah sakit sambil mengobrol.

"Tangan Pak Harris langsung gemetar hebat saat mendengar ucapanmu tadi," komentar Fahmi. 

"Dia sudah punya istri, tapi istrinya tidak ikut karena sedang keluar kota.... kurasa dia sedang membayangkan kalau istrinya juga ikut dalam rombongan mereka..."

"Hmm... menarik."

"Menurutmu ini soal apa?"

"Menurutku ini soal uang... bentuknya mungkin persaingan usaha, atau jegal-menjegal. Kota ini sempit.... mungkin ada yang gerah. Korban adalah  11 orang, kaya dan masih muda... terlalu mustahil kalau cuma kriminal teri biasa.

"Sial..." kata Aldo, pelan.

Tapi kemudian keduanya tidak mengatakan apa-apa lagi, saat mereka sudah keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju parkiran mobil. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

***


Luka SegarWhere stories live. Discover now