5

2K 420 40
                                    

Sepanjang perjalanan berangkat hingga sampai ke bandara, Sari dan Mia yang lebih banyak mengobrol sementara Harris hanya menjawab kalau ditanya. 

Begitu selesai mengantar Sari, Mia dan Harris langsung pulang, dan perjalanan mereka kini lebih banyak diisi keheningan. 

Mia membawa botol minum stainless berwarna merah muda. Saat ditaruh di cup holder, terlihat amat kontras dengan interior mobil Harris yang dominan berwarna gelap.

Harris melirik sejenak ke arah Mia yang sedang meminum seteguk air dari botolnya. 

"Tidak jadi?" tanya Harris, untuk pertama kalinya bertanya duluan.

Mia menoleh ke arah Harris sambil meletakkan botol di tangannya kembali ke cup holder. "Apanya?" Mia balik bertanya.

"Bukannya hari ini harusnya kamu keluar kota?" tanya Harris lagi. Meski Mia sedari tadi melihat ke arahnya, tapi Harris bergeming, pandangannya tetap lurus ke arah jalan.

"Oh, itu. Iya tidak jadi," kata Mia, terdengar sedikit terkejut. Mia lalu kembali bersandar di kursinya, menatap ke luar jendela samping, sebelum menambahkan, "Aku tidak mengira Mas Harris masih mengingatnya."

Harris tidak membalas apa-apa.

Selama beberapa saat, tidak ada yang bicara.

Sampai akhirnya ucapan Harris memecah keheningan. "Kalau ada yang mau kamu ceritakan, kita masih punya cukup waktu... perjalanan pulang kita masih panjang..."

Mia kembali menoleh ke arah pria itu. Harris masih tetap memandang lurus ke depan, tatapannya sesekali melirik spion--tapi tak sekalipun dia melihat ke arah Mia.

"Tim yang akan berangkat dirombak, aku jadi tidak jadi ikut. Baru dikasih tahu kemarin," kata Mia.

"Kedengarannya terlalu mendadak," komentar Harris pelan.

Mia hanya mengedikkan bahu. "Begitulah...."

Harris menoleh. "Persaingan dalam pekerjaan?"

Mia, yang akhirnya punya kesempatan untuk beradu pandang dengan Harris, ikut menoleh juga. "Yaa, ada MUA yang lebih senior memasukkan kenalannya. Aku memang dari awal sudah prioritas bontot, jadi tertendang."

"Kamu terlalu santai.... apa ini bukan pertama kalinya terjadi? Mendadak kehilangan kerjaan karena ada orang lain dengan koneksi yang lebih kuat dari pada kamu?"

Mia menghela napas. "Secara umum kalau pekerjaannya bebas, individual gitu, aku tidak pernah ada masalah. Tapi kalau sudah begini, memang bukan pertama kalinya terjadi. Tapi aku tidak masalah sih, sudah biasa sikut-sikutan begini. Uangnya memang lumayan untuk memperpanjang napas bulan ini, tapi kalau untuk jangka panjang, mending mengalah saja."

"Apakah karena itu kamu menangis tadi pagi dan minta ikut ke bandara?"

Nada bicara Harris begitu datang, sampai Mia mau tak mau terkekeh. "Kalau mas Harris bilang begitu, aku jadi kedengaran seperti balita yang dilarang beli mainan, lalu hanya bisa ditenangkan dengan diajak jalan-jalan...."

Senyuman samar terlihat mengembang di bibir Harris, tapi sebentar saja kemudian hilang. "Tapi kamu tadi habis menangis kan... benar atau tidak?"

Mia duduk menghadap Harris. "Kok tahu aku habis menangis tadi pagi?" tanya Mia.

Harris menoleh ke arah Mia. "Masih ada sisa air mata waktu kamu naik. Dan kamu sampai menyiapkan membawa botol minum. Kamu sudah berniat untuk ikut aku."

"Yaa, tapi nangisnya bukan karena kerjaan sih," kata Mia, dia kembali bersandar di kursinya dan bertopang pipi. Kalau ingat kejadian pagi tadi, dadanya terasa begitu sesak karena perasaan kesal.

"Terus nangisnya karena apa?"

"Tadi pagi pulang kerja, masih ada waktu setengah jam sebelum jamnya kita janjian itu... terus aku lapar banget, aku baru sadar aku terakhir makan kemarin siang. Di lemari ada mie instan rebus, tinggal satu-satunya, jadi aku masak. Terus aku cek kulkas, eh ternyata ada telor ayam, juga tinggal satu-satunya. Udah kebayang banget kan pagi-pagi masak mie rebus pake telor, mana ada cabe rawit dua sisaan kemarin aku dapat snackbox ada risolnya dan cabe rawitnya aku kumpulin. Jadi aku tunggu mienya udah setengah mateng, terus aku ceplokin telur di atasnya.... terus.... ternyata telurnya busuk." Suara Mia sedikit gemetaran.

"Bau banget, di tangan, di panci, dan dapurku... Nggak ada penghisap asap pula. Jadi akhirnya aku kubur tuh sepanci mie telor busuk di halaman. Terus aku cuci pancinya sambil nangis. Tanganku bau juga, aku cuci tangan pakai sabun berkali-kali...." Mia menatap ke arah jari-jari tangannya.

"Jadi kamu belum makan dari kemarin? Kamu mau cari makan sekarang juga apa nunggu sampai kita ke Bogor saja?"

Mia menggeleng pelan. "Kalau sekarang masih belum lapar. Atau mungkin udah keburu trauma, baunya telurnya kayak masih nempel di badan..." Mia menarik blus yang dia kenakan ke arah hidung dan mengendusnya, hidung Mia mengernyit sedikit.

"Kamu... wanginya enak kok," komentar Harris, sambil lalu.

Mia menoleh ke arah Harris. "Masa?" tanya Mia. Tapi Mia tahu Harris tidak akan menjawab pertanyaanya itu jadi Mia meneruskan ceritanya. "Terus abis itu, aku pikir, aduh kok capek banget ya... berhari-hari nyetir mobil sendiri, cari uang sendiri, ibaratnya bawang tinggal satu, telur tinggal satu juga dipikirin sendiri. Rasanya pengen jalan-jalan tapi nggak pengen nyetir. Cuma pengen duduk manis di kursi penumpang... Jadi ya udah, abis beres-beres aku datang sengaja jalan kaki, pengin minta ikut, pokoknya mas Harris pergi ke manapun aku minta ikut, nanti pulangnya terserah asal bawa dompet dan hape pasti aku bisa pulang lagi ke rumah..." 

Mia hendak melirik wajah Harris, ingin tahu reaksinya.... tapi tangan Harris yang terlihat mencengkeram roda kemudi hingga buku jari lelaki itu memutih sejenak menarik perhatiannya.

Mia meneruskan melirik ke wajah Harris, tapi ekspresi lelaki itu datar saja.

"Semoga... aku numpang begini tidak merepotkan Mas Harris. Kalaupun memang merepotkan, aku minta maaf... cuma ini sudah kepalang..."

"Bulan lalu... kamu sudah bayar UKT untuk kuliah Syakilla kan? Dan hutang ayahmu juga sebentar lagi terbayar lunas?" tanya Harris, nada suaranya amat lembut. Kelembutan yang tak pernah Mia dengar sebelumnya dari lelaki itu. "Kamu sudah bekerja dengan sangat keras. Tidak semua orang semuda kamu sanggup jadi kepala keluarga, memikul tanggung jawab yang begitu berat. Aku pun belum tentu sanggup.... Kamu sudah bekerja dengan amat keras, Mia... Orang lain mungkin tidak tahu seberapa kerasnya kamu berusaha, tapi aku tahu..."

Mia tidak tahu bagian mana dari ucapan Harris yang membuat pertahanannya jebol dan airmatanya mengalir begitu deras. 

Tapi saat dia mendengar Harris bicara, Mia teringat bagaimana dia harus meninggalkan rumah tinggalnya demi mendapat ekstra beberapa belas juta dalam waktu secepat-cepatnya.

Mia teringat puluhan kali dia keluar rumah dan menyetir pada dini hari untuk merias. Teringat status WhatsApp yang dia ketik untuk berjualan gamis, kue, cemilan. Teringat hari-hari dia tertidur di kursi di ruangan wardrobe saat ada event. Perut yang perih, mata yang pedas, punggung yang sakit...

Kamu sudah bekerja dengan amat keras, Mia....

Mia bahkan tidak terisak. Dia hanya duduk tercenung dan airmatanya menetes-netes hingga dagu.

Mia menoleh ke arah Harris, sementara itu, Harris yang melihat ke arah Mia terlihat amat terkejut melihat keadaan gadis itu.

"Menurut Mas Harris begitu?" tanya Mia, sembari tersenyum lebar. "Menurut Mas Harris, apakah Papa akan bangga padaku?"

***

Luka SegarWhere stories live. Discover now