6

1.9K 406 55
                                    


Ketika Harris menjemput Sari di bandara dua pekan kemudian, dia sudah tahu dua orang teman ibunya ingin ikut pulang bersama mereka. Jadi Harris sudah menurunkan kabin paling belakang saat masih di rumah, untuk mengakomodasi koper dan barang bawaan mereka.

Saat Harris menjemput Sari, dan saat dia sedang menaikkan koper ke bagasi, Sari berdiri di sampingnya sambil berkacak pinggang, memperhatikan Harris bekerja.

Harris melirik ke arah Sari. "Apa?" tanyanya.

Sari menatap Harris. "Memang nggak boleh Ibu di sini? Pake ditanyain segala..."

"Mending masuk aja, Bu," kata Harris, menggunakan dagu, Harris menunjuk ke arah teman-teman Sari yang sedang mengipas-ngipas di bangku penumpang dalam mobil. "Di luar sini panas..."

Sari menoleh ke arah teman-temannya yang membelakangi mereka. "Tuh... baru diisi dua orang, masih cukup diisi satu lagi... Ibu harusnya di sana sama teman-teman Ibu. Kalau pun tambah satu juga masih muat... kamu yang larang dia ikut ya?"

Tanpa memahami konteks apa-apa, ucapan Sari terdengar absurd karena tidak jelas siapa yang dimaksud dengan 'dia'.

Tapi Harris paham dalam sekali dengar.

Karena selama dua pekan terakhir, di tiap telepon dan pesan yang dikirimkan Sari, ibunya itu tak pernah berhenti membahas dia

Nomer hape Ibu sudah disimpan Mia, jadi ibu bisa liat statusnya. Dia lagi jualan basreng, kamu beliin dong buat Ibu?  🙈

Sudah telepon Mia belum?

Kamu makan sendirian aja... 🤔 Nggak ngajak Mia? 

Mia apa kabar? Sudah telepon Mia belum?

Tadi Mia foto pelangi di langit... kamu liat nggak? Bagus banget ya...

Tadi Mia komentarin foto Ibu yang di depan Wat Arun lho. Kata Mia, Ibu cantik... 🤭 

Sudah telepon Mia belum, Mia apa kabar kok belum keliatan statusnya hari ini?

Sudah belasan kali Harris menjelaskan, bahwa hubungannya dengan Mia hanya sebatas membantu Mia menyelesaikan urusan penjualan bisnis mendiang ayahnya. Harris tidak dalam kapasitas mengomentari status Mia, atau meneleponnya untuk urusan basa-basi atau mengajak Mia makan bareng.

Dan kalau Sari mau beli basreng atau barang jualan Mia lainnya, Sari bisa melakukannya sendiri...

Tapi penjelasan itu seperti masuk telinga Sari lalu keluar lagi tanpa meninggalkan bekas.

Buktinya, hari ini, Sari masih merecokinya soal Mia, Mia, Mia....

"Bu, kemarin itu kebetulan aja Mia ikut antar Ibu... Mia juga bukan pengangguran kan, dia punya pekerjaan lain selain membuang-buang waktu 4 jam dalam hidupnya yang berharga buat bolak-balik Bogor-Cengkareng-Bogor," kata Harris. Tinggal sisa tiga koper lagi yang harus dia masukkan ke dalam bagasi, dan Harris berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaannya tanpa membuat otot pinggangnya tertarik dan keseleo.

"Okelah, kalau Mia memang nggak mau ikut," kata Sari. "Tapi kamu sudah telepon Mia, kan? Hari ini dia nggak bikin status lagi lho... Dia nggak apa-apa kan?"

Harris pura-pura tidak mendengar ucapan ibunya. Tapi tak bisa dipungkiri, ucapan Sari barusan membangunkan kegelisahan yang dengan sekuat tenaga Harris benamkan ke dasar hatinya.

Bukan cuma hari ini, tapi sudah empat hari terakhir ini hanya ada senyap yang berasal dari arah Mia. Biasanya Mia selalu memposting pekerjaan meriasnya, jualannya, atau apa saja. Harris hanya mengamatinya dalam diam tanpa sekalipun merespon atau mengomentari.

Luka SegarWhere stories live. Discover now