1

5.7K 532 37
                                    

Tiga hari setelah kematian papanya, pelayat masih datang ke rumah siang dan malam.

Penagih hutang juga.

Kedua jenis tamu itu diterima Mia dengan senyum lapang dada.

Apabila almarhum Fajri Muharrom masih memiliki sangkutan janji atau hutang, mohon menghubungi ahli waris... Begitu kata ustadz yang memimpin sholat jenazah tiga hari lalu.

Begitu mendengar kalimat itu disebutkan, Mia menoleh ke jenazah ayahnya yang sudah terbebat kafan, mengingat senyum dan kasih sayang lelaki itu padanya semasa hidupnya.

Papa, nanti Mia yang urus.... Papa tenang saja, nanti Mia yang urus.... Mia mengulang-ulang tekadnya itu di dalam hati. Beberapa hutang papanya di bank akan lunas oleh asuransi, tapi Mia tahu papanya punya hutang di tempat lain. Hanya saja, Mia tidak tahu berapa jumlahnya....

Sepulangnya dari pemakaman, sudah ada tiga orang yang menunggu di kursi plastik depan rumah.

Beberapa sanak saudaranya yang tinggal di rumah itu terlihat pucat, dan siang itu dan selama tiga hari ini, Mia mulai memahami berapa dalam ayahnya terlilit hutang.

Totalnya hingga hari ini, Mia sudah didatangi 11 orang penagih hutang, dengan total hutang 2,6 miliar.

***

"Saya minta maaf Mbak Mia, tapi bagaimanapun posisi saya sulit."

Mia masih mengenakan baju terusan putih dan selendang berenda warna senada yang menutupi kepalanya.

Dia duduk bersimpuh di karpet, di hadapan lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Sandy. Mia tadi melihat Sandy ikut pengajian, lelaki itu malah masih memakai peci putih di kepalanya.

Aroma bunga melati, sedap malam dan air mawar terasa manis memenuhi segala sudut rumah. Samar-samat, bapak-bapak yang masih di bercampur aroma rokok dari arah teras.

Karpet Persia tebal yang digelar di ruang tamu rumahnya yang terlihat kosong melompong, setelah setengah jam sebelumnya penuh oleh bapak-bapak yang datang untuk mengaji dan tahlilan.

Beberapa yang masih belum pulang, beberapa kali terlihat mencuri pandang arah Mia dan Sandy. Sanak keluarganya baru membereskan sisa tahlilan--piring-piring bermotif kembang raya berisi bolu mentega, lemper, kacang, kulit jeruk, botol air mineral.

Mia merasa kepalanya melayang. Tiga hari ini dia hampir tidak tidur, mengurusi surat kematian, mondar-mandir mengurusi acara tahlilan dan yang paling menyita pikirannya, menerima orang-orang seperti Sandy, yang datang untuk menagih utang mendiang ayahnya.

Mia memangku bundel dokumen yang diberikan Sandy padanya. Dengan tatapan kosong membaca kalimat demi baris kalimat, dan berakhir menatap ke tanda tangan tinta yang dibubuhkan ayahnya.

Bogor, 12 Maret 2019

Fajri Muharrom

Mia mengusapkan tangannya ke tanda tangan mendiang papanya itu. Dadanya berat, tenggorokannya terasa seperti berduri, sulit rasanya untuk menelan. Sedang apa Mia waktu itu, tanggal 12 Maret 2019? Kalau pagi-siang hari, dia mungkin sedang kuliah... Kalau sore, mungkin dia sedang asyik nongkrong di kafe bersama teman-temannya. Kalau malam, Mia mungkin sedang bersantai di kos ekslusif yang harga sewanya jutaan sebulan.

Jakarta-Bogor memang tidak terlalu jauh, Mia sering mengendarai sendiri mobilnya tiap akhir pekan. Tapi meskipun dia sering bertemu papanya, tak ada tanda-tanda kalau pria itu mengalami kesulitan dalam hidupnya. Standar hidup Mia selalu sama dari tahun ke tahun--selalu tinggi.

Kini Mia menyadari kalau selama ini dia hidup di istana pasir, kemewahan yang disediakan ayahnya rapuh dan penuh ilusi. Satu terjangan ombak, dan semuanya hancur tanpa sisa.

Yang jadi masalah, Syakilla, adiknya, kini juga sedang berada di istana pasir yang sama.... Tahun lalu, Killa mulai berkuliah di Bandung, dan menjalani kemewahan yang kurang lebih sama dengan Mia.

Mia merasa pandangannya mengabur, dan sedetik kemudian, saat pandangannya kembali fokus, satu bulir air mata jatuh ke halaman terakhir dokumen perjanjian utang-piutang itu, membasahi tanda tangan papanya, membuat tintanya sedikit buyar.

"Dek Mia?" Sebuah suara yang berat dan pelan terdengar dari atas sampingnya.

Mia berusaha mengusap airmata di pipi sebisanya, lalu mendongak.

"Mas Harris?" panggil Mia.

Lelaki yang Mia panggil sebagai Mas Harris itu berusia pertengahan 30an. Badannya tegap dan jangkung, dengan bahu lebar. Wajahnya tampan dengan mata coklat yang khas, rambut sedikit berponi dan rahang tegas. Orang bilang ayahnya Harris bule Spanyol, tapi ibunya Harris, yang sampai sekarang tidak pernah menikah, hanya bungkam.

Mia mengenal Harris sebagai rekan kerja papanya.

Harris jadi salah satu orang pertama yang menemui Mia di rumah sakit, saat papanya dibawa ke sana karena mengalami serangan jantung dan dinyatakan meninggal. Harris dengan sigap membereskan banyak hal yang tidak bisa dilakukan Mia.

"Maaf hari ini aku ada urusan di luar kota jadi baru bisa datang sekarang... apa boleh aku duduk di sini?" tanya Harris, matanya tajam menatap Sandy.

Mia yang masih mendongak menatap Harris yang kini duduk di sampingnya. Mengamati sisi wajah pria itu.

Ya... sore tadi keberadaan Harris tidak terlihat. Pantas saja rasanya sangat melelahkan--menggelar tikar, menerima tamu, menyerahkan amplop ke kyai yang memimpin pengajian.

Ujung lutut Mia amat dekat dengan samping kaki Harris. Kalau bergerak sedikit saja, mereka pasti akan saling bersentuhan.

Mia selalu menyadari kehadiran Harris, tetapi lelaki itu hanya bergerak dalam orbitnya, tidak pernah benar-benar berada di sisinya.

Sandy menatap Harris, lalu menoleh ke arah Mia. "Saya rasa, boleh saja... Kalau Mbak Mia tidak keberatan..."

Lamunana Mia buyar dan dia menoleh ke arah Sandy. Dia butuh waktu untuk mencerna ucapan Sandy itu.

Mia menjawab, "Oh, kurasa tidak apa-apa. Mas Harris sudah tahu--" Tapi kemudian Mia kesulitan meneruskan ucapannya, Mia mendadak merasa tenggorokannya tercekat.

Harris selalu berada di dekatnya meski tidak cukup dekat.

Dan meski Harris hanya mengamati Mia dari kejauhan, tanpa mengatakan apa-apa, Harris pasti sudah tahu tentang kondisi ini.

Itu yang sebenarnya mau dikatakan Mia pada Sandy barusan.

Mas Harris sudah tahu keluargaku punya banyak hutang.

Tapi kemudian Mia tidak bisa meneruskan kalimat itu.

Dia hanya menunduk dan air mata jatuh dengan deras ke kertas dokumen yang masih ada di pangkuannya.

Harris mengambil dokumen itu dari pangkuan Mia, lalu Mia mendengar Harris berkata pada Sandy.

"Pak Sandy, ini kartu nama saya.... Bolehkah menghubungi saya besok pagi? Keluarga mendiang Pak Fajri sudah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri, jadi nanti saya akan bantu untuk mengurusnya."

Mia menunduk makin dalam, dagunya nyaris menyentuh dada dan airmatanya mengalir deras, makin tidak terbendung.

***

Luka SegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang