3 - Tolong!

86 13 0
                                    

Bunga serta kupu-kupu yang bersemayam di dalam hati dan perut, tidak kunjung pergi sejak kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bunga serta kupu-kupu yang bersemayam di dalam hati dan perut, tidak kunjung pergi sejak kemarin. Ini semua hanya karena pesan balasan dari Faris. Membayangkan mulai minggu depan bakal seharian berada di dekatnya, langsung bikin level bahagiaku terbang sampai ke awan. Proses mengantre asistensi pun berjalan tanpa terasa. Padahal, sepertinya sudah lebih dari satu jam aku terjebak di barisan para mahasiswa yang nasibnya belum ditentukan. Namun, aku tetap menjalaninya dengan riang gembira.

Ah ... such a happy day.

"Selanjutnya!" panggil Pak Abrar—dosen mata kuliah Nirmana Tiga Dimensi.

Dengan segera aku berdiri sembari membawa kotak kardus sepatu berisi benda keramat. Ringkih dan kalau kena senggol, bisa hancur berkeping-keping.

"Ini materialnya yang kulit lumpia itu, ya?" tanya pria paruh baya berkumis tebal, sambil serius memperhatikan 'benda' yang ada di hadapan. Aku mengiakan, dengan sebuah anggukan.

"Di sebelah sininya kurang rapi, tapi nanti bisa diulangi," komentar Pak Abrar lagi.

Setelah beberapa menit, beliau masih menilai lewat tatapan serius sebelum tangannya bergerak mengangkat hasil karyaku hingga terpampang di udara. Dua buah baut berukuran besar dengan tumpukan kulit lumpia kering yang dipotong persegi.

Jangan bayangkan bagaimana bentuknya. Kalau bukan orang seni, pasti menganggapnya tidak jelas. Tugas Nirmana Tiga Dimensi ini memang suka ada-ada saja. Semester lalu, ada nirmana sedotan. Tugasnya menyusun sedotan hingga membentuk karya yang lagi-lagi, ringkih. Perjuangannya lebih berat daripada si kulit lumpia. Entah berapa bungkus sedotan yang aku habiskan. Mama sampai geleng-geleng melihatku memborong sedotan.

Ada juga tugas nirmana korek api. Itu juga sama. Aku membeli korek api sampai beberapa pak. Sungguh, kuliah di jurusan FSRD ini sangat menyita isi dompet. Sebetulnya semua jurusan juga sama saja, sih. Iya, kan?

"Nanti pas penilaian, kamu pakaikan alas cermin gelap biar ada pantulan, ya. Sepertinya bakal membuat baut-bautnya kelihatan lebih bagus. Lalu, dirapikan lagi. Terutama bentuk kulit lumpianya. Yang simetris perseginya. Dan ... tambah bautnya 1 lagi. Jadi totalnya 3. Ukuran bautnya udah bagus yang seperti ini." Beliau berkata panjang lebar. Sementara aku mengiakan dengan anggukan kepala yang antusias.

Hilalku sudah kelihatan. Alhamdulillah.

"Pak, saya kepikiran kalau bautnya dibikin beda ketinggian. Menurut Bapak gimana?" tanyaku meminta pendapat.

Pak Abrar tampak berpikir sebentar, menimbang-nimbang sambil membayangkan. Lalu beliau menggeleng. "Jangan, deh. Saya takutnya jadi kurang estetik. Jadi seperti tangga gitu maksud kamu, ya?" Aku mengangguk. "Hm... Samain aja tinggi bautnya. Fokus di kulit lumpia, sama efek pantulan dari cermin. Yang hitam dasarnya, ya," sambung Pak Abrar menolak usulan. Aku mengangguk paham, biar cepat. Lalu pamit dan berjalan kembali ke arah kelas setelah mengucapkan terima kasih.

Her Life as a Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang