25 - The Truth

55 11 0
                                    

Tidak butuh waktu lama, aku dan Faris sudah tiba di stasiun MRT HarbourFront

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak butuh waktu lama, aku dan Faris sudah tiba di stasiun MRT HarbourFront. Begitu keluar dari area stasiun, mataku langsung disuguhkan oleh orang-orang yang lalu lalang, juga barisan toko berukuran kecil hingga besar yang menjual berbagai macam barang. Mall Vivo City, merupakan salah satu akses untuk menyeberang ke pulau Sentosa. Itu yang menyebabkan area di dalam mal sangat ramai. Apalagi sekarang hari Sabtu. Semua turis maupun penduduk asli Singapura berbondong-bondong menuju tempat rekreasi untuk mencari hiburan.

"Kamu mau makan dulu, atau cari kado dulu, Ra?" tanya Faris, ketika kami masuk ke lobi utama. Sekarang memang sudah masuk jam makan siang, sih. Namun, perutku belum terlalu lapar.

"Cari kado dulu aja, Kak. Biar cepet selesai. Baru cari makan."

"Oke, deh. Kita ke lantai atas aja, ya?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu Faris pun mulai berjalan pelan, seperti sengaja menungguku. Mengapa rasanya masih gugup sekali, ya? Padahal banyak yang ingin aku tanyakan padanya, tapi mulut ini terasa kaku, setiap kali Faris menatapku.

"Farhan minta sepatu jalan merek Puma. Spesifik banget dia," cerita Faris mengakhiri jeda yang sudah tercipta selama beberapa menit.

Begitu mendengar merek itu, mataku segera membulat. Ternyata permintaan Farhan itu bukan kiasan, tapi betulan. Otakku langsung sibuk menghitung berapa jumlah uang yang berhasil aku simpan setelah puasa jajan dua minggu. Bakal cukup enggak, ya?

"Tenang, Ra. Kamu ikut patungan sebisamu aja. Sisanya aku yang bayar. Jangan terlalu dianggap serius omongan adikku, ya? Dia memang suka begitu anaknya," ujar lelaki itu lagi. Kali ini sambil sedikit tertawa, bikinku tersipu malu.

"Ah, Kak Faris, nih. Tahu aja. Uang jajan aku memang nggak banyak, Kak. Papa bekelinnya ngepas. Hehehe...," jawabku jujur sambil ikut tertawa.

"It's okay, Ra. Kamu mau meladeni celotehan Farhan aja, aku udah terima kasih banget."

Iya, sih. Farhan itu bisa dibilang memang sesuatu.

Aku mengangguk-angguk sendiri. Malah jadi keterusan memikirkan interaksiku dengan adiknya Faris beberapa minggu ini. Hingga tiba-tiba, ada yang menarik sikuku.

"Nah, itu store yang aku maksud. Ayo, Ra!" seru Faris mengagetkan.

Tidak butuh waktu terlalu lama, sepatu kets berbahan suede dengan dominan warna biru, sudah berpindah tempat ke tas belanja yang aku pegang. Mulutku sempat menganga ketika melihat harga yang tertera di labelnya. Namun, wajah Faris biasa saja. Beda ya, kalau sudah bekerja, mah.

"Nah, sekarang waktunya makan. Kamu mau makan di mana?" tanyanya seraya tersenyum lebar. Sudah lega rupanya. Aku sempat melirik ke jam tangan magenta. Ternyata sudah pukul satu siang. Pantas saja perutku dari tadi bergejolak.

"Kamu hari ini mikirnya lama terus, deh. Kita makan di Sentosa aja, yuk! Ayo, Ra!" Faris mulai bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

Entah karena sudah kelaparan atau memang lagi terlampau bahagia, dia sampai tidak sadar kalau sudah menarik tanganku. Tindakan spontannya ini membuatku terkesiap. Namun, tidak lama senyuman yang sangat lebar mulai terulas di wajahku. Sepertinya dewi fortuna betul-betul masih berpihak padaku hingga detik ini. 

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now