10 - Pupus

42 12 0
                                    

Setelah tiga puluh menit mengemudi, aku dan Mama tiba di kafe tempat acara arisan diadakan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah tiga puluh menit mengemudi, aku dan Mama tiba di kafe tempat acara arisan diadakan. Waktu mendengar tempat arisannya itu di jalan Progo, aku tidak kepikiran sama sekali kalau di sinilah tempatnya. Aku kira di restoran yang cocok buat emak-emak gitu. Tahunya di kafe yang lagi in di kota Bandung.

"Bahkan aku belum pernah ke sini lho, Ma." Aku mengaku sesaat setelah mematikan mesin mobil.

"Ah, masa? Mama aja udah dua kali ke sini. Kamu kurang gaul berarti," sindir Mama dengan wajah penuh kepuasaan.

Aku mendengkus, sembari menyipitkan mata. Padahal, aku selalu mengumbar pada Mama dan Papa, kalau menongkrong di kafe adalah salah satu hobiku. Namun, nyatanya pencapaian selama ini masih kurang maksimal. Sebagai anak muda, aku merasa gagal.

"Hayu, turun. Temen-temen Mama udah pada nungguin," imbuhnya sedikit mendesak. Bibirku mencebik. Mengiakan setengah hati, sebelum mengikuti langkah kaki Mama yang sudah jalan terlebih dahulu.

Seorang waitress berseragam cokelat muda menyapa kami berdua. Dia melangkah gesit, memimpin kami setelah mendengar jawaban Mama, hingga sampai di ruangan yang sudah dipesan. Sebuah private room berukuran cukup besar, yang terletak di bagian belakang kafe. Aku agak membungkukkan badan ketika memasuki ruangan. Sementara Mama, langsung menyapa riang seluruh temannya. Seperti sudah lama tidak bertemu, padahal aku yakin, palingan minggu lalu juga ketemuan.

Ada dua buah meja panjang yang bisa memuat sampai sekitar dua puluh orang di dalam ruangan ini. Pandanganku berhenti di penampakan taman kecil yang berada di balik jendela. Beberapa pohon tinggi yang dihias dengan lampu-lampu kecil tampak memenuhi setiap sudut taman. Aku yakin, kalau malam pasti bagus banget, deh.

Tanpa aku sadari, obrolan emak-emak sudah dimulai. Mama menggiringku ke hadapan para ibu-ibu gaul untuk diperkenalkan. Semacam ajang pamer anak. Hal lumrah yang sering terjadi di setiap perkumpulan ibu-ibu berusia lebih dari setengah abad. Aku sih, mengikuti saja. Manggut-manggut seraya menyunggingkan senyum termanis yang aku punya.

Setelah sesi memamerkan prestasi anak usai, Mama berbisik sekilas. Memintaku untuk duduk di meja yang terletak di sudut ruangan. Ada dua anak yang sudah lebih dulu duduk di sana. Kayaknya mereka bernasib sama denganku. Seorang cewek, yang kelihatan seperti sudah kuliah dan satu anak cowok yang berusia jauh lebih muda. Dia sedang asyik bermain game di tab-nya sampai tidak menyadari kehadiranku. Wajah mereka terlihat mirip. Jangan-jangan, mereka kakak beradik.

"Halo, gue Ira. Lo namanya siapa?" tanyaku pada si cewek berambut pendek. Dia membalas pertanyaan dengan tersenyum lalu menjulurkan tangannya. Aku juga ikut menjulurkan tangan untuk bersalaman.

"Gue Kiana. Ini adek gue, Farhan. Dia masih kelas 1 SMP," jawabnya sambil melirik ke arah sang adik.

"Dek, salaman dulu. Taro tab-nya sebentar," perintah Kiana pada bocah lelaki itu. Meski tampak enggan, Farhan tetap meletakkan benda canggih kesayangannya, sebelum menjulurkan tangan ke arahku.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now