14 - Solusi yang Merepotkan

34 9 0
                                    

"Mama nggak kasih izin ya, Ra

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mama nggak kasih izin ya, Ra. Misalnya nanti kamu ada apa-apa di sana, gimana? Sedeket-deketnya Singapura, tetep aja jauh ...."

Berkali-kali aku membujuk, tapi tetap saja Mama menolak. Ucapannya telak, seakan tidak bisa  diganggu gugat. Arah kedua mataku mulai beralih pada Papa. Berharap beliau masih mendukungku seperti sebelumnya. Namun, tatapan memelasku tampaknya tidak ampuh kali ini. Papa bergeming, tidak membalas sepatah kata pun.

"Terus kesempatan buat KP di desainer yang oke, harus terbuang sia-sia gitu aja, Ma? Ira bisa sendiri, kok. Ira bisa jaga diri. Ira udah gede, Ma, Pa," bujukku sekali lagi. Mama terlihat sedang berpikir keras, sedangkan Papa tidak berhenti melihat ke arah Mama. Aku sadar betul, kalau keputusan sebenarnya berada di tangan Mama, bukan Papa.

"Mama coba tanya ke temen Mama dulu, deh. Kalo nggak salah, anak temen Mama ada yang kerja di Singapura. Siapa tahu dia sewa apartemen yang gedean, gitu. Terus bisa disewa salah satu kamarnya. Kalau sewa kamar doang kan, pasti jauh lebih murah."

"Tapi, Ma ... Mande kan, udah mau sewa apartemen. Udah bayar DP malah. Aku takutnya nggak bisa dibatalin," sanggahku sekali lagi.

"Mumpung masih DP, Ra. Kamu coba bilang ke Mandenya. Siapa tahu pemiliknya bisa dinego. Di refund, gitu. Ya, walaupun nggak semuanya. Minimal ada yang balik."

"Tapi, Ma."

"Masalahnya, Ra. Kemarin kalian bayarnya mau patungan. Kalo kamu tetep tinggal di sana tapi cuma Papa yang bayarin, jatohnya mahal banget. Kamu nggak kasihan sama Papa? Papa sampe nyairin deposito demi kamu, loh! Tahu, nggak?" bentak Mama galak sembari memelotot hingga bola matanya hampir keluar.

Tatapan garangnya tidak beralih hingga beberapa detik, sampai bikin aku sempat lupa bernapas. Sebetulnya aku sadar, keinginanku ini sudah sangat menyusahkan Papa. Namun, untuk kali ini ... saja. Aku benar-benar ingin memperjuangkan cintaku pada Faris.

Akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk pasrah. Lalu, Mama pergi berlalu ke kamar, hendak menelepon teman yang dia sebutkan tadi. Begitu tinggal berdua, Papa meremas tanganku perlahan. Tatapan sendunya membuatku semakin tidak enak hati.

"Pa ... maafin Ira, yah. Ira memang nyusahin banget jadi anak," ucapku sedih.

"Jangan merasa gitu, dong, Sayang. Setiap orang tua, pasti akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Jadi, tentu aja Papa akan mendukung kamu, sebisa Papa. Udah, jangan sedih begitu. Cantiknya hilang nanti," hibur Papa seraya tersenyum padaku.

Bukannya mereda, kesedihanku malah semakin memuncak sampai akhirnya aku mulai menangis. Yang kini terasa, antara takut gagal ketemu Faris dan merasa tidak enak pada mereka berdua. Mana sekarang sudah libur kuliah. Aku jadi tidak punya tempat curhat face to face. Ay, Nadia dan Nuri sudah pulang ke rumah masing-masing. Mereka juga akan beredar untuk kerja praktek di kota yang berbeda. Yang paling jauh Ay Ay. Enak banget dia kerja praktek sambil berlibur di Bali.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now