16 - Housemates

50 8 0
                                    

Ah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ah... indah sekali mimpiku.

Rasanya seperti terbang di atas awan. Aku berayun ke kiri dan ke kanan. Wangi. Aroma parfum Faris kenapa bisa sampai ke sini? Oh, mungkin karena di mimpi aku bertemu dia, jadi wangi parfumnya masih tertinggal. Eh, sebentar. Sepertinya ada yang salah. Seharusnya aku sedang bermimpi, kan? Tapi, kalau ini mimpi, mengapa suara Faris dan Farhan terdengar sangat nyata?

Mataku membelalak di detik berikutnya. Ini, bukan mimpi! Sepasang iris mata berwarna cokelat milik lelaki yang selama tiga tahun ini bersemayam di dalam hati, sedang menatapku dengan sorot mata khawatir. Begitu aku tersadar, embusan napas leganya terasa menyapu setiap inci wajahku. Faris mempererat dekapan tangannya. Aku dipeluk Faris! Allahu Akbar! Mimpi apa aku bisa berada sedekat ini dengannya?

"Ira! Kamu udah nggak apa-apa? Tunggu ya, sebentar lagi kita sampai apartemen," serunya heboh.

Langkah kaki gebetan jangka panjangku terasa semakin cepat. Aku terdiam, membisu. Mulutku tertutup rapat, berlawanan dengan mata yang terbuka sangat lebar. Ini kesempatan langka yang tidak boleh dilewatkan. Aku ingin memandanginya sepuasku, juga menghidu aroma tubuhnya sampai aku sesak. Tidak hentinya aku berterima kasih pada-Nya, karena sudah mengabulkan doaku selama ini. Awalnya terasa seperti mimpi, tapi ternyata ini nyata adanya.

"Farhan, cepetan buka pintunya," perintah Faris pada adik lelakinya yang juga terdengar panik.

Mataku langsung beredar, saat kami bertiga sudah berhasil masuk ke dalam tempat tinggal Faris. Lantai apartemennya terbuat dari kayu berwarna cokelat terang. Terdapat sebuah cermin besar di dinding sebelah kanan lorong apartemen, yang membagi keseluruhan apartemen menjadi dua bagian. Warna cat dindingnya putih bersih.

Aku melihat beberapa poster hasil karya Faris tertempel di dinding ruang keluarga. Juga keyboard dan gitar yang suka dimainkan olehnya di setiap video-video yang dia unggah di media sosial. Aku tercenung. Sungguh. Aku tidak pernah menyangka bisa berada di sini. Melihat semua yang biasanya aku lihat melalui perantara, dengan mata kepalaku sendiri. Saat ini aku terlalu bahagia, sampai mataku mulai lembab.

"Ra, kamu kenapa mau nangis? Pusing banget, ya?" tanya Faris setelah merebahkanku di sofa tiga seater yang berada tepat di seberang TV layar lebar.

Kepalaku menggeleng cepat sebagai jawaban. "Makasih banyak, Kak. Padahal baru ketemu, tapi aku udah langsung ngerepotin gini," jawabku lemas.

"Teh Ira, ini diminum dulu."

Tiba-tiba Farhan datang, menyodorkan sebuah cangkir ke hadapan. Faris membantuku untuk duduk, dan mengambil alih cangkir dari tangan Farhan. Saking gugupnya, saat minum pun aku tidak bisa fokus. Air hangat yang aku minum sempat meluber, dan bikinku tersedak sampai mereka berdua kembali heboh. Lama-lama aku malu juga kalau terlihat lemah begini.

"Kak, aku udah baikan, kok. Beneran," ujarku cepat.

"Ya, udah. Kamu istirahat dulu di sofa, ya," jawab Faris. Lalu, dia berdiri dan menghampiri Farhan yang sedang duduk di kursi makan.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now