13 - Ready To Go, But ...

38 7 0
                                    

"Ma

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ma... Pa... kalau Ira pengen KP di luar negeri, boleh nggak?" tanyaku ketika kami bertiga baru saja selesai makan malam. Dua pasang mata langsung menatap lurus ke arahku. Mereka berdua sepertinya kaget sekali. "Please ...," sambungku dengan nada memelas sambil mengedipkan kedua mata.

"Kenapa harus ke luar negeri, Ra? Memangnya yang di deket-deket sini, nggak ada yang bagus?" tanya Mama keheranan. Dia sampai tidak jadi pergi ke dapur, dan tetap duduk di hadapanku.

"Tepatnya di mana, Ra? Kalau prospeknya bagus untuk masa depan kamu, sih, Papa setuju aja."

Harapanku segera terisi penuh, setelah mendengar dukungan Papa. Berbeda dengan Mama, yang tampaknya masih menimbang-nimbang.

"Di Singapura kok, Pa. Deket, kan? Tapi, ini belum pasti, sih. Ira lagi nunggu kabar dari temen, yang udah duluan keterima. Jadi mau barengan dia, gitu," balasku berusaha terdengar meyakinkan. Mama dan Papa mulai manggut-manggut.

"Ya udah, kalau ada temennya mah, Mama setuju. Tapi biaya hidup kamu gimana nanti? Dapet gaji, nggak?" Ah, iya. Aku lupa menanyakan itu pada Mande tadi.

"Nanti Ira tanyain, Ma." Mataku kemudian beralih pada Papa, sumber dana utamaku. "Tapi, kalau misalnya Ira nggak dapet gaji, terus harus pakai uang sendiri, gimana, Pa? Tetep boleh, nggak?" Aku berkata semanis mungkin sembari menaik-turunkan alisku beberapa kali.

"Papa belum bisa kasih jawaban sekarang. Tapi, nanti Papa usahakan, ya. Semoga aja kamu tetap dapet gaji. Jadi minimal tempat tinggal atau uang makannya dapet dari sana," ucap Papa seakan ingin menyudahi topik kerja praktekku.

"Ya udah, deh, Pa. Nanti Ira kabarin kalo udah ada info dari temen Ira, ya."

Papa mengangguk, lalu berdiri meninggalkan meja makan. Begitu juga Mama, yang sudah berlalu ke dapur. Embusan napas pasrahku keluar begitu saja. Nasibku masih tidak jelas.

Untuk sementara, kesimpulannya Papa dan Mama mengizinkan asal ada teman dan kalau bisa dapat gaji dari tempat kerja prakteknya. Mungkin Papa agak keberatan jika harus membiayai semua kebutuhanku selama tinggal di Singapura, yang pastinya tidak akan sedikit.

Faris ... Faris ... mengapa sulit sekali, sih, mendapatkan kamu?

***

Semenjak Mande mengabarkan kalau masih ada satu lowongan tersisa dan aku bisa ikut kerja praktik di Singapura, hari-hariku menjadi lebih berwarna. Ketiga sahabatku sempat terkejut. Apalagi Nadia yang berteriak-teriak heboh sampai bikin seisi kantin menatap aneh ke arah kami berempat. Namun, respons itu hanya di awal saja, sih. Sekarang, Ay Ay, Nadia dan Nuri sangat mendukung langkah yang aku ambil. Sebab mereka sudah tahu kalau perasaanku pada Faris tidak akan berakhir sampai aku tahu bagaimana ujungnya.

"Meh, lo udah ngurus visa kerjanya, gitu?" tanya Nadia, begitu aku duduk di sebelahnya. Karena sekarang sudah masuk bulan puasa, jadi setiap istirahat siang kami sering berkumpul di selasar gedung CC Timur atau duduk-duduk di kursi taman tidak jauh dari gerbang depan.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now