20 - Farhan si Bocah Menyebalkan

49 8 0
                                    

Sinar matahari yang terik juga tiupan angin kering langsung terasa menyapu seluruh permukaan kulitku, ketika kami baru saja keluar dari dalam lift yang menjadi penghubung antara stasiun MRT bawah tanah dengan dunia luar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sinar matahari yang terik juga tiupan angin kering langsung terasa menyapu seluruh permukaan kulitku, ketika kami baru saja keluar dari dalam lift yang menjadi penghubung antara stasiun MRT bawah tanah dengan dunia luar. Sekarang sudah pukul dua siang. Seharusnya matahari tidak berada tepat di atas kepala lagi. Namun, Singapura memang dikenal dengan cuaca panas dan lembabnya. Beruntung aku membawa kipas elektrik kecil yang aku beli di kios dekat apartemen beberapa hari yang lalu. Betul-betul membantu dalam keadaan terdesak seperti ini.

"Edun, panas pisan," celetuk Farhan sembari mengipasi wajahnya yang mulai basah karena keringat. Tawaku hampir menyembur keluar, jika tatapan mata ini tidak bertubrukan dengan sepasang iris mata cokelat, milik lelaki yang masih saja membuatku gugup hingga sekarang. Tetapi tidak lama, aku dan Faris malah tertawa. Kami menertawakan keadaan juga tingkah Farhan yang seperti cacing kepanasan. Entah dia memang masih bocah atau terlalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Perilaku rempongnya bikin aku gemas menjurus ke sebal.

Mulai dari meminta payung, memaksa cari tempat berteduh, sampai tidak mau memotret aku dan Faris. Padahal aku ingin sekali difoto berdua dengan latar belakang hotel Marina Bay Sands, tapi bocah itu menolak dengan alasan mager. Kesel, kan? Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Tetapi, setelah sadar akan konsekuensinya, aku mengurungkan niat. Takut nanti dia mengadu ke calon mama mertua. Bisa bisa, aku didepak pula dari apartemen Faris. Kelangsungan rencana mengejar cintaku terancam gagal kalau sampai begitu.

"Kak, mendingan kita ke Cloud Forest aja, yuk? Biar nih bocah diem," sahutku sembari berbisik.

"Oh, iya bener juga." Faris ikutan berbisik. "Farhan, sekarang kita jalan kaki ke Cloud Forest, ya!" seru Faris pada Farhan yang sedang duduk berteduh. Wajahnya yang semula ditekuk dalam, akhirnya melonggar.

"Tapi Farhan nggak mau jalan kaki, ah. Pengen naik mobil kecil itu, loh, A."

Faris menghela napas pasrah. "Ya, udah. Ayo."

Gebetan jangka panjang yang aku cintai sepenuh hati ini, berjalan lebih dulu. Menyusuri lorong terbuka yang dipenuhi oleh para wisatawan dari berbagai negara. Nah, kalau seperti ini baru terasa liburannya. Dari kemarin aku hanya kerja, kerja dan kerja sampai pusing kepala.

Cloud Forest, tidak pernah gagal membuat aku terpesona dengan kecanggihan teknologinya. Begitu masuk ke dalam, aku disambut dengan udara super dingin dan sejuk. Di beberapa titik juga terdapat kabut berair yang kalau tidak salah berfungsi untuk menjaga agar setiap tanaman tetap mendapatkan asupan air yang cukup. Ada air terjun super tinggi di pusat area. Keberadaannya langsung menarik perhatian kami semua. Kakiku otomatis berlari menuju air terjun itu, dan mengeluarkan ponsel untuk berswafoto. Namun, sebuah tangan merebut ponselku. Sempat aku terkejut, karena mengira orang itu pencopet, tapi Alhamdulillah bukan.

"Kalau mau foto, ajak-ajak, dong, Ra," ujar Faris iseng. Aku meringis kikuk.

Dia meraih pundak kananku dan memaksa aku untuk mendekat. Bikin jantung ini jadi joget disko dadakan. Tubuhku juga terpaku. Tidak menyangka kalau dia akan memperlakukan aku seperti ini. Perlahan kepala Faris menoleh, dan senyum manis segera terlukis di wajahnya.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now