21 - Jangan-Jangan Dia ...

52 10 0
                                    

"Sekarang kita mau ke mana lagi, Kak?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Sekarang kita mau ke mana lagi, Kak?"

Puas mengelilingi area Cloud Forest sampai satu jam lebih, akhirnya kami bertiga berjalan melewati pintu keluar. Bahkan di sore hari pun, udara masih panas dan lembab. Ah, aku jadi rindu kota Bandung tercinta.

"Farhan mau ke mana lagi? Udah capek, belum?" tanya Faris pada adik kecilnya yang menyebalkan. Sisa-sisa pertengkaran kami tadi masih ada. Farhan seperti tidak sudi melihat ke arahku.

"Aku laper, A. Kita makan di Mcd dulu aja, yuk. Nanti baru jalan-jalan lagi. Farhan pengen nunggu sampe malem, biar bisa lihat Supertree yang udah pake lampu-lampu. Terus, pengen naik ke skywalknya juga," pinta Farhan. Begitu mendengar rencananya, aku langsung mengintip isi dompet. Waduh, uangku minggu ini tinggal sedikit, pula.

"Ya, udah. Aa juga capek jalan terus."

Faris kembali memimpin perjalanan. Sementara Farhan mengikuti dengan berjalan di sebelahnya. Namun, aku bertahan. Tetap mengikutinya dari belakang. Melihat Faris berjalan di depanku, kembali menghadirkan kenangan dari dua tahun yang lalu. Seketika perasaan aneh menyeruak. Padahal sudah satu minggu aku bertemu setiap hari dengannya, tetapi masih saja sulit untuk dipercaya. Kalau sosok lelaki yang dulu sangat sulit aku lihat, sekarang terus hadir tanpa harus berusaha.

"Ra, sini. Jangan jalan di belakang. Nanti hilang," panggil Faris padaku. Dia berhenti melangkah, menungguku sampai tiba di sisinya. Tanpa sadar, aku mempercepat gerakan kaki. Titik pandangku tak beralih, meski Faris sudah melihat ke arah lain.

"Nah, jalan di sini aja. Aku takut kamu nyasar."

"Oke. Siap, Kak!"

Untuk pertama kalinya di hari ini, aku bisa berdua saja dengan Faris meski hanya beberapa menit saja. Aku mengirim Farhan ke dalam restoran untuk memesankan makanan, sedangkan aku dan Faris duduk di luar. Dia sedang fokus dengan ponselnya. Aku pun mengikuti, sembari berpikir keras akan membicarakan topik apa dengannya.

"Kak, Ira penasaran, deh." Kepalanya menoleh setelah mendengar ucapanku.

"Penasaran sama apa, Ra?" Ponsel yang semula dia genggam, sudah diletakkan di meja. Iris cokelat indah itu melihat lurus padaku. Menunggu kelanjutan kalimat dari mulutku.

"Sebelumnya ... Kak Faris udah tahu apa belum, kalau aku yang bakal nyewa kamar di apartemen Kakak?"

"Hm ... tahu, kok."

"Oh, ya? Terus, kok dibolehin, Kak? Ira penasaran sama alasannya," tanyaku tidak sabar. Mataku tidak berkedip. Seolah memaksanya segera menjawab.

"Kita kan, udah saling kenal. Kamu juga anaknya baik, nggak ngerepotin. Jadi aku setuju aja. Kebetulan juga kamarnya nggak kepake. Daripada mubazir, mending disewain, kan?" balas Faris, sembari mengangkat kedua alis.

"Iya, sih. Bener juga." Aku berusaha tersenyum, mendapati bahwa alasannya tidak sesuai ekspektasiku. Mehira, Mehira. Memangnya kamu berharap Faris menjawab apa?

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now