33 - Dia Datang Lagi

62 9 3
                                    

Taksi yang kami tumpangi dari Bandara Changi sudah berbelok masuk ke area Holland Village

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Taksi yang kami tumpangi dari Bandara Changi sudah berbelok masuk ke area Holland Village. Beberapa wisatawan memadati toko-toko berinterior minimalis yang berada di sepanjang jalan. Ini terbilang ramai, mengingat hari ini masih tengah minggu. Aku cuma pergi selama empat hari, tapi rasanya seperti sudah lama sekali. Kubangan air mengisi beberapa sudut permukaan jalanan yang kulewati. Hujan baru saja reda. Meninggalkan perasaan hangat yang sulit diungkapkan.

Kakiku bergerak tidak sabar. Ingin segera mengatur tempatku beristirahat. Sementara Takiga sejak tadi terus mencuri pandang ke arahku. Sesekali dia berdeham aneh. Seperti ingin mengajakku mengobrol, tapi kehabisan topik pembicaraan. Aku jadi berinisiatif menggodanya lebih dulu.

"Tegang banget, Mas. Kesan galak yang kemarin-kemarin udah fix lenyap, nih?"

Takiga yang menyadari niatku menggodanya, langsung berusaha mendatarkan ekspresi wajah. Namun, pipi bersemu merah sudah telanjur menjadi bukti kuat kalau dia sedang gugup dan malu sekarang.

Aku terkekeh sendiri. Geleng-geleng kepala, sembari menepuk-nepuk pundaknya. Dia benar-benar berubah. Bahkan selama kami di pesawat, dia tidak berhenti mewawancaraiku. Bertanya ini dan itu. Mulai dari hobi, makanan kesukaan, minuman kesukaan, hal-hal yang kubenci, cita-citaku sampai apa rencanaku setelah lulus kuliah. Waktu tiga jam berlalu tanpa terasa, dan tahu-tahu suara pilot pesawat terdengar. Memberitahu kalau kami akan segera mendarat.

Sometimes, I still can't believe. How can a man like him, choose me. An ordinary me.

"Udah, deh. Jangan mulai. Memangnya kamu kangen sama Takiga yang galak dan menyebalkan?"

Aku mengedikkan bahu. "Nggak bisa milih. Bingung juga aku. Serba salah. Tapi, aku lebih suka Takiga versi profesional yang bisa fokus bekerja, walau hatinya lagi terombang-ambing, sih."

"Hatiku nggak terombang-ambing. Nggak sampai begitu juga. But, yeah. Aku sempat kecewa aja, sih. Kupikir kamu—"

"Nggak biasa ditolak ya, Mas?" tebakku cepat.

Takiga menghela napas. Matanya memejam sebentar. Aku baru sadar, bulu matanya cukup lentik juga. Panjangnya pas, melengkapi kelopak matanya yang tidak lebar. Aku tergelak pelan. Mimpi apa aku ditaksir atasan sendiri. Sinetron banget.

"Semenjak kemarin, kayaknya kamu jadi hobi banget ngetawain aku, ya? Jangan lupa, lho. Gini-gini, aku masih atasanmu, Mehira. Nilai KP-mu ada di tanganku." Takiga mendadak serius. Sorot matanya kembali seperti dulu. Membuatku langsung mengatupkan mulut.

Iya, juga. Kalau nanti aku menolak dia, nilaiku bakal jadi jelek enggak, ya?

"Mas, mumpung lagi bahas nilai. Janji Mas kemarin masih berlaku, kan?" tanyaku hati-hati. Sebelah alis Takiga terangkat. Hm, pura-pura lupa dia.

"Itu, lho. Yang Mas Takiga bilang bakal ngasih aku nilai bagus, kalau kerja sama dengan investornya berjalan lancar. Inget, kan?" desakku dengan sengaja bergeser mendekat ke arahnya.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now