12 - Mehira Si Bucin Lapuk

50 11 0
                                    

Bandung, Februari 2013

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bandung, Februari 2013

Ketika teman-teman satu kelas sudah tahu akan melakukan kerja praktik di mana, tinggal aku sendiri yang masih dilanda kebingungan. Dosen waliku sampai selalu mengingatkan, jangan terlambat mengumpulkan formulir setiap kali bertemu. Sebenarnya aku sudah mencari-cari tempat yang tepat sejak bulan lalu, tapi belum ketemu juga yang sesuai dengan keinginan.

Bulan Februari sekejap lagi berakhir. Waktu berjalan begitu cepat. Berbanding terbalik dengan perasaanku pada Faris yang masih jalan di tempat. Hampir tiga tahun terakhir ini, yang ada di hatiku masih tetap Faris saja. Aku sampai mendapat julukan baru, yang dicetuskan oleh Ay Ay. Bucin lapuk. Tentunya ada alasan di balik julukan itu. Aku sudah terlalu setia pada satu lelaki yang bahkan mungkin tidak tahu tentang perasaanku padanya, hingga saat ini. Hahaha... sound stupid, but it's true.

Detik ini, Faris sudah tidak tinggal di Bandung. Sekarang dia menetap di negara kecil, yang berada tepat di seberang pulau Batam. Kalau tidak salah, hanya tiga bulan setelah diwisuda Faris sudah mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah konsultan desain yang berbasis di Singapura. Aku betul-betul hanya bertemu dengannya, satu atau dua kali saja setiap tahunnya.

Terkadang, Faris suka tiba-tiba datang ke kampus. Nuri, yang bertugas sebagai mata-mata, selalu mengabariku secepat yang dia bisa, ketika melihat Faris di area Prodi DKV. Sialnya, gedung Prodi Kriya berada terpisah sendiri dari prodi-prodi desain lainnya. Jadi sering kali aku tertinggal momen, dan Faris sudah menghilang.

Aku harus puas dengan hanya mengamati Faris lewat layar ponsel dan laptop saja. Setiap hari, aku selalu memeriksa akun media sosialnya. Faris rajin mengunggah video ketika sedang bermain gitar. Yang terpenting bagiku, hingga sekarang dia tidak pernah mengunggah foto bersama cewek lain, atau foto selain pemandangan, dirinya sendiri, gitar, atau situasi di apartemennya. Itu yang membuatku masih berharap sampai sekarang.

Seharusnya di awal bulan Maret, aku sudah harus menentukan dan menyerahkan formulir pengajuan kerja praktik pada dosen wali, tetapi bukan Mehira namanya jika sudah menyerah sebelum mentok. Sebab, sebenarnya ada satu negara yang aku jadikan incaran. Ini juga satu-satunya kesempatanku untuk kembali mengejar Faris. Alasan masuk akal apalagi yang bisa aku ceritakan pada Mama dan Papa untuk pergi ke Singapura, selain karena kepentingan kuliah?

"Ay, lo jadinya KP ke Bali sama Putu, ya?" tanyaku setelah selesai mengikuti kuliah Seminar Kriya siang ini.

Ay mengangguk tanpa menoleh kepadaku. Matanya masih terfokus pada ponsel layar lebar hitam, yang baru dia beli minggu lalu. Aku mendengkus sebal. Merasa tidak diperhatikan. Padahal kegundahanku tentang kerja praktik ini belum berakhir, dan aku butuh sarana untuk mencurahkan kegalauan hati.

"Sorry, Meh. Gue lagi baca chat-nya si Putu. Dia tadi nggak masuk kelas. Sakit katanya," balas Ay Ay. Aku menjawab dengan kata oh yang panjang.

"Oh, iya. Gue jadinya ke Bali, Meh. Lo mau ikut kagak?" sambung Ay lagi.

Aku malah diam, lalu menggeleng. "Sebenernya ... gue pengen ke Singapura, Ay."

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now