19 - Faris is The Best!

38 9 0
                                    

Beberapa hari terakhir, Takiga selalu menahanku di butik dengan banyak alasan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Beberapa hari terakhir, Takiga selalu menahanku di butik dengan banyak alasan. Mulai dari tiba-tiba memberi tugas untuk mengambil alih bagian mendesain model pakaian, sampai memilih kain dari berlembar-lembar sampel yang dikirim khusus dari Jakarta. Mataku juga sempat jereng karena terus menatap layar laptop demi mencari tahu model pakaian dan warna-warna yang akan trend tahun depan. Mana hasil gambaranku pas-pasan. Alhasil, Takiga menyuruhku revisi dan terus revisi. Bahkan, sebelum pulang tadi dia memintaku membawakan lima belas sketsa lain yang harus ada di mejanya besok siang!

Hah. Memikirkannya saja bikin aku ingin terbahak keras. Bukan karena bahagia, tapi karena frustrasi. Dia kira aku Bandung Bondowoso apa? Bikin satu dalam waktu tiga puluh menit saja sudah alhamdulillah. Ini dia meminta belasan. Sama saja memintaku tidak tidur semalaman kalau begitu caranya.

Dia sih, enak. Tinggal jalan beberapa langkah, sudah sampai di tempat tidur. Orang tempat tinggalnya di gedung sebelah. Kalau aku? Kudu gonta-ganti MRT sama jalan kaki lima ratus meter baru sampai apartemen. Kadang juga naik taksi kalau sudah kemalaman, seperti barusan. Namun, yang begini ujung-ujungnya jadi menyita jatah uang jajan. Padahal aku sudah berencana mau hidup irit. Jadi terancam gagal, deh.

Takiga memang sedang gencar merancang koleksi terbaru untuk diperlihatkan kepada para investor bulan depan. Sebelumnya aku sudah tahu, kalau menjadi seorang desainer tanpa nama besar sangatlah tidak mudah. Namun, baru kali ini aku melihat perjuangan itu secara langsung. Terlebih, tindakan Takiga itu bisa dibilang nekat. Dia baru debut dua tahun, tapi sudah berani merambah kancah internasional. Meskipun Singapura hanya negara kecil, tapi persaingan antar desainernya tetap tidak main-main. Sisi ambisiusnya itu terkadang membuat aku kagum sekaligus tidak habis pikir.

Pukul setengah dua belas malam, aku baru menginjakkan kaki di apartemen. Suasana sudah sepi dan gelap. Sepertinya Faris dan Farhan sudah terlelap. Rencana mengakrabkan diri dengan Faris sembari jalan-jalan cantik, sirna sudah. Yang kulakukan hanya kerja, kerja dan kerja! Bahkan, sepertinya sudah dua hari ini aku bertemu Faris ketika sarapan saja.

Tubuh berkeringat dan bau masam akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di sofa abu gelap dengan tiga buah bantal di atasnya. Sebetulnya aku merasa tidak enak rebahan di sofa sebelum mandi, tapi tenagaku benar-benar ludes. Aku sangat kelelahan. Untuk berjalan ke kamar saja sepertinya aku tidak mampu. Sembari menutup kedua mata dengan lengan kanan yang aku letakkan di atas kening, tarikan napas berangsur teratur. Kesadaranku perlahan menurun. Letih memang selalu sukses membuatku terlelap.

"Ra, jangan tidur di situ. Pindah ke kamar, gih."

Aku tersentak, ketika suara Faris tiba-tiba terdengar. Bayangan samarnya yang tengah menatapku adalah hal pertama yang memenuhi pandangan. Meski kepala terasa sakit sekali, aku mencoba membuka mata, lalu bangun untuk duduk di sampingnya.

"Baru pulang?" tanyanya seraya melirik ke arah jam dinding. Aku mengangguk lemah. Berusaha tersenyum.

"Capek, Ra?"

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now