7 - Patah Hati Lagi

52 10 0
                                    

Sepanjang kelas Gamtuk, aku susah sekali fokus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sepanjang kelas Gamtuk, aku susah sekali fokus. Saking penasarannya, mataku terus berpusat di sosok laki-laki yang terus membuatku penasaran. Aku ingin membuktikan dengan mataku sendiri. Apa benar Faris suka sama Dita atau tidak.

"Meh, lo ngeliatin Kak Faris mulu, deh," tegur Ay Ay. Mata bulatnya seakan menyuarakan protes. "Fokus gambar dulu, Meh. Udah jam segini, loh. Ntar repot sendiri lo nya. Jangan lupa, gambarnya dikumpulin hari ini," tegur Ay sekali lagi. Pandanganku akhirnya beralih ke kertas tugas yang sejak tadi dibiarkan menganggur. Gambarnya masih belum jadi. Garis-garisnya juga masih tipis.

Tugas hari ini, menggambar buah-buahan dan kendi dari tanah liat yang ditaruh di atas meja dan diletakkan di tengah setiap kelas. Media pewarna yang dipakai untuk tugas kali ini adalah cat air. Aku paling aku tidak suka cat air, karena hasil gambarku selalu jelek kalau pakai cat itu.

"Iya, Ay. Soalnya gue kepo," aku mengaku lemah, dengan kepala menunduk.

"Ya, udah. Gue sambil intip-intip juga, deh. Nad, Nur, kalian sambil intip-intip doi, yah," sahut Ay pada Nadia dan Nuri.

"Oke, sip!" jawab mereka serentak.

"Thanks yah, Ukhtis," sahutku pelan. Setelah menghela napas panjang, aku kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.

"Ra, ini kendinya kekurusan," tegur Budi, asdos yang hari ini bertugas mengawas di kelas empat. Tegurannya tadi membuatku berhenti menggambar, lalu berdiri untuk melihat hasil gambaran dari jarak yang lebih jauh. Ternyata benar. Kalau dilihat dari agak jauh, kendi yang sedang aku gambar jadi mirip botol.

Secara otomastis, tanganku jadi menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal sambil berkata. "Oh iya, Kak."

"Lo tambahin aja garis lagi di sini nih," imbuhnya sambil mencontohkan langsung di kertas gambarku. Aku mengangguk paham. Alhamdulillah, gambarku masih bisa diselamatkan.

"Makasih, Kak Budi."

"Sama-sama, Ra," jawab Budi sekilas, sebelum kepalanya berpaling ke arah Ay Ay. "Loh, Ayu. Ini kendinya kok kegendutan?"

Sahabatku itu kaget dan langsung berdiri juga seperti yang barusan aku lakukan. Sementara asdosku ini malah tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan kami berdua.

"Kalian kenapa kebalikan gini sih gambarnya? Yang satu kekurusan, yang satu kegendutan," sahut Budi masih tergelak. Aku jadi bertukar tatap dengan Ay yang ikut keheranan. Bisa-bisanya. Kenapa gambar kendi kita semacam menggambarkan bentuk badan, sih.

"Kalo gambar aku gimana, Kak?" Giliran Nadia yang bertanya.

"Lo udah oke, sih. Lanjutkan, Nad." Kini giliran gambar Nuri yang diperiksa. Meski sempat diam, kepala cowok berkaus sedikit lusuh ini, langsung bergerak naik turun sambil tersenyum. "Nah ini bagus, nih," pujinya pada Nuri.

Karena penasaran, aku menarik Ay agar ikut menghampiri meja Nuri. Benar saja, gambar dia bagus sekali. Lalu aku menengok ke kertas yang tergeletak di atas meja.

Her Life as a Secret AdmirerWhere stories live. Discover now