14. Amarah I

290 55 14
                                    

Sinners || 14. Amarah I

***

Ayah?

Alessio terkekeh sinis saat panggilan itu berkelebat begitu saja dalam kepalanya. Saat Alessio membuka pintu apartemen Damar. Sekembalinya Alessio setelah melampiaskan kemarahannya di dalam mobil dengan cara memukuli setir mobil tanpa ampun.

Dan apa setelah itu Alessio merasa lebih baik?

Tentu saja tidak.

Karena nyatanya, amarah itu masih tetap ada. Dan kemarahan yang masih ada itu juga yang membuat Alessio sampai membanting pintu apartemen Damar saat dia kembali menutupnya. Guna kembali melampiaskan kemarahannya yang masih sangat berkobar. Karena kalau saja bisa, Alessio ingin melampiaskan kemarahannya dengan lebih dari sekedar memukuli setir mobil, berteriak, apalagi hanya sekedar membanting pintu. Hanya saja, Alessio sendiri tidak tau bagaimana seharusnya dia melampiaskan kemarahannya. Agar sesak dalam dadanya berkurang sedikit saja.

Agar setelahnya Alessio bisa bernafas dengan benar. Karena dengan keadaan seperti ini—emosi—membuat nafas Alessio terus saja memburu. Dikejar amarah yang memaksa ingin ditumpahkan.

Dan amarah itu terasa semakin berkobar hingga mungkin saja sanggup membakar Alessio sendiri, saat panggilan Ayah itu tadi tiba-tiba saja melintas dalam kepalanya yang sedari tadi terasa penuh.

Masalahnya, haruskah Alessio memanggilnya seperti itu—Ayah—setelah kenyataan demi kenyataan yang Alessio dengar hari ini? Terlebih, setelah Alessio melihat langsung sosok yang selama ini ingin dia ketahui. Sosok yang.. sialnya, harus Alessio akui kemiripan di antara mereka sangat signifikan. Dari mulai tinggi badan, postur tubuh, garis wajah. Bahkan lesung pipi yang akan muncul saat tersenyum. Dan karena kemiripan yang signifikan itu, sekarang Alessio tau dari mana dia memiliki wajah oriental sampai banyak orang terus saja menyangka kalau dia punya darah keturunan Tionghoa. Karena nyatanya, dia memang punya. Lantaran jelas terlihat kalau sosok yang Alessio yakini adalah Ayahnya, memiliki garis wajah Tionghoa yang sangat kentara.

Alessio masih ingat betul, dulu Alessio ingin sekali tau dan mengenal sosok Ayah kandungnya. Bagaimana rupanya, sifatnya, bahkan keberadaannya. Karena itu, dulu Alessio sering mencaritahu lewat Diandra. Dengan cara banyak bertanya tentunya. Tapi sayangnya, Diandra tidak pernah mau membahasnya. Selalu tidak mau memberikan jawaban dengan cara mengalihkan pembicaraan ke pembahasan lain.

Dan kalau boleh jujur, momen ketika Alessio mengetahui siapa Ayahnya adalah momen yang Alessio inginkan. Juga, pertemuannya dengan sang Ayah kandung adalah yang Alessio nantikan. Dengan harapan, terlepas Ibu dan Ayah kandungnya tidak bersama dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun, Ayah kandung berserta keluarganya bisa lebih menerima kehadiran Alessio ketimbang keluarga dari Ibunya sendiri. Agar Alessio.. kembali punya keluarga yang hangat seperti dulu. Di saat dia masih kecil. Di waktu Satrio belum mengetahui kalau Alessio bukanlah anak kandungnya. Karena jujur saja, bagian itu, adalah bagian terindah dalam hidup Alessio yang akan terus dia kenang sampai kapanpun.

Tapi siapa sangka?

Ketika apa yang Alessio inginkan, dan juga nantikan tidak berjalan seperti yang dia inginkan. Yang mana ternyata Ayah kandungnya pun menolak dan tidak menginginkannya. Sama seprti keluarga Ibu kandungnya sendiri. Rasanya sakit luar biasa. Terlebih, Alessio mendengar semua itu dari mulut Ayahnya sendiri walau tanpa perlu bertemu muka.

Dan rasa sakit itu pulalah yang mendatangkan amarah Alessio saat ini. Yang tak kunjung hilang.

"Kamu dari mana aja, sih?!" Alessio mengurungkan niatnya untuk melangkah masuk manakala suara Olivia langsung terdengar menyambutnya dengan nada tinggi. Menunjukan dengan jelas kalau dia sedang kesal. Atau.. marah?

Sinners (Season II)Onde histórias criam vida. Descubra agora