15. Amarah II

325 61 21
                                    

Sinners || 15. Amarah II

***

Suasana hati Alessio yang tadi sempat sedikit membaik, kembali tak karuan. Dan bahkan kembali memburuk saat matanya melihat Damar yang baru saja datang. Tengah berjalan ke arah balkon. Sudah jelas tujuannya untuk menghampiri Alessio yang jujur saja, sedang tidak ingin diganggu apalagi diajak bicara oleh siapapun. Apalagi Damar. Karena kalau Damar mengajak bicara. Sudah jelas akan kemana arah tujuan pembicaraannya akan berlabuh.

Dan kini, Damar sudah membuka pintu geser yang memisahkan ruang televisi dan juga balkon—tempat dimana Alessio berada. "Kamu ngapain di sini malam-malam?" tanya Damar. Sesaat setelah dia menutup kembali pintu geser.

"Nyari angin," sahut Alessio acuh. Dengan nada tanpa minat.

Damar mengangguk di sela langkahnya mendekati Alessio yang berdiri di samping pagar pembatas, "Olivia mana?" tanya Damar lagi.

Sekilas Alessio melihat ke arah dalam lewat pintu kaca, dan saat mendapati kalau Olivia memang sudah tidak ada lagi di sana, di tempat dimana mereka sebelumnya.. begitulah. "Udah tidur kali." Jawab Alessio sekenanya.

"Tidur?" ulang Damar dengan kening mengernyit. "Memang dia udah makan?"

Kali ini Alessio hanya mengangkat bahunya, tanpa memberikan jawaban.

Damar menghela nafas kasar sesaat setelah dia berdiri tepat di samping Alessio. "Kamu sendiri udah makan?"

"Gak laper,"

"Mau makan bareng?" tawar Damar. "Kebetulan saya juga belum mak—"

"Gak usah." Tolak Alessio cepat. "Udah malam. Lebih baik aku tidur." pamit Alessio buru-buru. Karena dari gelagat Damar, Alessio sudah bisa menyimpulkan kalau Damar akan memulai pembicaraan yang tidak ingin dibahas. "Aku butuh istirahat cukup karena besok pagi harus nyetir sepanjang perjalanan pulang. Aku dulua—"

"Cio, tunggu." Tahan Damar segera.

Akan tetapi, Alessio sama sekali tidak peduli. Karena tetap beranjak dari tempatnya. Berniat meninggalkan Damar. Agar mereka tidak harus membahas masalah yang Alessio benci. "Aku ngantuk, Om—"

"Mau sampai kapan kamu akan terus seperti ini, Cio?"

Pertanyaan Damar kali ini mampu membuat langkah Alessio kembali terhenti. "Seperti ini bagaimana maksud Om Damar?" tanya Alessio tanpa nada, setelah dia kembali berbalik untuk melihat Damar di belakang. Menatap Damar dengan tatapan malas.

"Terus aja menghindar di saat saya ingin mengajak bicara masalah Ibu kamu sen—"

"Dia-bukan-ibuku," Alessio mendesis dingin dengan nada penuh penekanan di setiap kata yang dia ucapkan, di tengah ucapan Damar, dengan mulut hampir terkatup rapat.

Damar menggeleng tegas, "Kamu suka atau gak. Mau atau enggak. Kamu gak akan pernah bisa menyangkal kalau Diandra itu ibu kamu—"

"Begitu?" Alessio mendengus sinis. "Kalau jawaban ini yang bikin Om Damar puas," decaknya. "Iya, dia Ibuku." Alessio mengangguk lugas. "Ibu yang dulu aku bela mati-matian. Bahkan sampai bikin aku rela melakukan apapun, karena berani memunggungi dunia hanya agar aku bisa terus bersamanya. Tapi masalahnya," Alessio mendadak terkekeh sinis di tengah kalimatnya, "setelah semua yang aku lakukan, setelah semua pengorbananku. Dan semua keinginannya aku turuti. Apa yang aku dapat?" tanyanya skeptis. "Dia menyangkalku, kan? Di depan banyak orang? Dan bahkan di depan laki-laki yang baru masuk ke dalam hidupnya beberapa tahun!" timpal Alessio dengan nada suara mulai meninggi lantaran amarahnya kembali tersulut.

"Cio—"

"Jadi, dia aja bisa menyangkalku, anak sendiri." potong Alessio segera. "Lalu kenapa aku gak bisa menyangkalnya juga di depan orang lain?"

Sinners (Season II)Where stories live. Discover now