33. Masalah yang Menanti Alvian di Rumah

5 0 0
                                    

Hujan turun makin deras, membuat butir-butiran air yang turun menghantam tubuh Alvian kala berkendara. Baik sweater maupun kaos hitam di baliknya sudah basah kuyup melekat ke kulitnya. Hanya helm yang melindungi kepala Alvian.

Begitu sampai ke sebuah masjid, pemuda itu langsung turun dan mengeluarkan seragamnya yang dijejalkan dalam helm Alysa. Gegas, ia tukar pakaiannya yang basah dengan seragamnya yang kering.

Pergi dengan berbohong tentunya bukan tanpa resiko. Ia berharap dengan membuat dirinya pulang sewaktu hujan dapat membuat ayahnya melunak, bahkan jika tak melunak pun, Alvian tak peduli. Ia berpikir sesekali melawan ayahnya tak masalah.

Begitu sampai ke rumahnya, pemuda itu segera memarkirkan motor, melepaskan jas hujan atas-bawah, dan membungkus plastik berisi pakaian basahnya dengan jas hujan.

"Vian, kamu sudah pulang, Nak?" tanya Ibu membuka pintu. Tampak raut wajah ibunya cemas, membuat pemuda itu waspada.

"Alvian." Suara panggilan bernada tegas dari ayahnya langsung membuat telinga pemuda itu tegak.

"Apa, Yah?" sahut Alvian setenang mungkin melangkah masuk menghadap ayahnya yang duduk di ruang tamu.

Pria yang berusia lebih dari 60 tahun itu menyeringai melihat penampilan anaknya. "Kamu pulang dari rumah temen, atau pulang dari bioskop?" sindir bapak-bapak tak beruban itu.

Deg!

Alvian sama sekali tak menyangka bahwa ayahnya langsung menebak dengan tepat. Namun, sebisa mungkin pemuda itu mempertahankan sandiwaranya. "Alvian emang habis dari rumah temen, Yah," kata Alvian.

Mendengar hal itu, ayah Alvian yang semula bersandar di sofa, mencondongkan badan pada putranya. "Kalau begitu, mana tas dan bukumu?"

"Nggak Vian bawa," jawab pemuda itu enteng. "Hacih!" Mendadak Alvian bersin.

"Belajar macam apa itu? Nggak bawa tas, nggak bawa alat tulis?"

Sambil mengusap hidungnya, Alvian menjawab, "Males, kalo bisa pinjem nga—"

Bam!

Suara meja ruang tamu yang dipukul membuat wajah ibu Alvian yang sedari tadi diam memperhatikan menjadi tegang. Tampak wajah santai suaminya berganti tegang, merah dan berurat.

"Kamu sadar apa yang kamu katakan! Berani kamu bohongi ayah!" Dengan cepat pria itu menghampiri putra semata wayangnya dan memberikan sebuah tinju pada wajah pemuda itu.

"Pak!" cegah ibu Alvian menahan suaminya. Sementara anaknya sudah tersungkur dengan mulut sedikit robek.

Bagh!

Bugh!

"Kamu kira ayah nggak tahu kamu pacaran ke bioskop?!" teriak ayahnya sambil menendang tubuh Alvian.

"Sudah, Pak! Vian udah terluka," desak ibu Alvian agar suaminya berhenti menyerang.

Ayah Alvian mengehela napas mencoba menahan diri supaya tidak menyakiti putranya lebih jauh. Dengan nada kesal, ia peringatkan anaknya, "Sudah ayah kasih kamu kesempatan kedua. Sudah ayah kasih kamu kebebasan dan fasilitas, nggak ngerti juga kamu. Maunya apa?"

Alvian terbatuk-batuk, ia memegangi perutnya yang sakit sehabis ditendang. Jas hujannya sudah jatuh ke lantai dengan bungkusan plastik hitam mengintip di baliknya, menarik perhatian ayah Alvian yang langsung mengambil dan memeriksa isinya. Sebuah sweater, celana panjang dan kaos basah.

"Apa ini!" seru pria itu membentangkan sweater biru bergambar pasangan itu. Dengan geram, dikepalkannya baju itu hingga menjadi bola dan menimpuknya ke Alvian. "Sekolah yang bener! Jangan pacar-pacaran!"

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang