34. Kabur dari Rumah (1)

8 1 1
                                    

Di dalam kamar, Alvian diam saja pura-pura tidur. Ia enggan menanggapi ibunya. Sedari tadi ia bertanya-tanya, siapa yang sudah mengadukannya? Alvian mencurigai Arman, tetapi ia tidak begitu yakin.

Tok! Tok! Tok!

"Vian, kamu udah makan belum, Sayang? Ini mama bikinin teh hangat." Suara lembut ibunya membujuk hati Alvian.

"Udah," jawab anak itu, tetapi sedikit roti bakar yang tadi ia makan tak membuatnya kenyang. Namun, rasa perih akibat dihajar tadi tak membuatnya begitu berselera.

"Bukain pintunya, Vian! Mama mau masuk," perintah ibunya.

Akhirnya Alvian menghampiri pintu dan membukanya. Ibunya masuk dan memberikannya secangkir teh hangat.

"Angetin dulu badannya, kamu habis kehujanan," ucap ibunya prihatin. "Nggak mandi kamu?" Alvian menggeleng, lalu ia meminum teh dengan pelan.

"Sakit badannya? Mananya yang sakit?" tanya wanita itu sambil meletakkan tangan ke dahi Alvian. Suhunya terasa normal meski wajah anak itu agak merah. Namun, Alvian menjauhkan tangan ibunya.

"Kenapa Mama ngira aku ke rumah Arman? 'Kan tadi Vian bilang mau belajar ke rumah Alisa," ucap Alvian dingin.

Wanita itu mengernyitkan dahi mendengar penuturan anaknya. "Hah, gimana? Tadi mama denger kamu pamit belajar ke rumah Arman," singgung ibunya.

Alvian menggeleng, "Nggak, Ma. Vian tadi pamit belajar ke rumah Alisa. A-li-sa. Bukan Arman. Mungkin Mama salah denger karena sibuk ngerumpi sama besan," sindir Alvian.

Ibu Alvian tidak terima dengan penuturan anaknya. "Ya, terlepas Mama salah denger atau enggak, tapi tetep aja itu nggak mengubah kenyataan bahwa kamu ngebohongin Mama. Kamu sendiri bilang tadi pamit belajar ke rumah Alysa. Nyatanya kamu malah pacaran, main-main, nggak sesuai sama omonganmu," cecar ibunya sedikit emosi.

Alvian menatap mata ibunya. "Vian emang belajar kok, Ma. Mama tahu sweater? Ternyata artinya penghasil keringat. Penulisannya 'sweat' seperti nama minuman. Bukan 'sweet' yang artinya pemanis.

"Terus selat itu adalah lautan yang diapit pulau. Terus sunset artinya matahari terbenam dan sunrise artinya matahari terbit," cerocos Alvian membeberkan pengetahuan yang ia dapat hari ini.

"Dan Mama tahu nggak? Cuma modal duit lima puluh ribu, kita udah bisa nyenengin banyak orang. Cuma dengan berbagi cemilan," lanjut anak itu.

Mama Alvian diam saja mendengar penuturan putranya. Anak itu sama sekali tidak tampak merasa bersalah dan justru terkesan membenarkan perbuatannya.

Padahal beberapa bulan yang lalu ketika Alvian lulus SMP, mama Alvian memohon-mohon pada suaminya agar Alvian bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah umum, bukan pesantren seperti pilihan ayahnya.

Sudah cukup bagi mama merasakan bagaimana anaknya mondok beberapa minggu di sana sewaktu kelas 3 SMP, usai lolos dari penjara. Hatinya perih setiap kali Alvian menceritakan ketidaknyamanannya di pesantren yang menurutnya mirip penjara. Ditambah lagi dengan bumbu-bumbu berita buruk berlatar pesantren yang umumnya mengenai pembulian dan pelecehan dari ibunya-oma Alvian.

"Anak kamu itu tampan, pasti dia jadi sasaran di sana." Begitulah ucapan nenek-nenek itu yang mendorong mama Alvian berusaha agar Alvian tidak kembali ke pesantren. Wanita itu bahkan menyuap sekolah supaya menerima anak dengan catatan kriminal itu.

Kini mama Alvian merasa kecewa dengan sikap anaknya yang justru main-main. Ia sadar selama ini telah buta dan terlalu memanjakan anaknya, anak yang kelahirannya memberikan kebahagiaan dalam keluarga patriarki itu.

Wanita yang biasanya cerewet itu, membereskan gelas minuman anaknya tanpa suara dan menutup pintu tanpa komentar. Sambil mencuci gelas bekas minum anaknya, tak henti-hentinya wanita itu merenungkan pola asuhnya.

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Where stories live. Discover now