46. Alysa Dalam Kesulitan

5 1 0
                                    

Alysa bersyukur tugas matematika tidak diperiksa, karena sebagian besar sisa jam pelajaran tercurah untuk menghukum Diki dan Satrio yang bolos ke kantin.

Alysa juga dapat mengumpulkan hape pada pelajaran BK tanpa merasa cemas. Sebab, gadis itu sama sekali tak menyimpan konten pornografi di dalamnya. Tautan cerita yang pernah Alvian kirim juga sudah ia bersihkan jejaknya. (Baca kisah selengkapnya di chapter 22)

Sayangnya, Alysa belum bisa bernapas lega, karena setelah istirahat ada pelajaran fisika dan sejarah. Untuk PR sejarah, dapat ia kebut sewaktu istirahat. Namun, untuk PR fisika meski sudah selesai belum dikembalikan Alvian. Tanpa ponsel di tangan, mau tak mau Alysa keluar dan mendatangi Alvian ke kelas 10F.

"Kak Vian, aku perlu buku fisika-ku," pinta Alysa tanpa basa-basi saat bertemu pacarnya.

Alvian yang sedang mengobrol, menjilat bibir—sedikit kebingungan menanggapinya. Lantas, anak itu berpura-pura memeriksa tasnya. "Wah, kayaknya bukumu ketinggalan, Lis," dustanya.

"Aargh! Kakak gimana, sih! Kan udah kusuruh balikin hari ini!" teriak Alysa frustasi. Kakinya menghentak-hentak lantai dengan kesal. Tampak wajah gadis itu ingin menangis.

Tantrumnya Alysa yang stres, entah mengapa membuat Alvian enggan bersimpati. "Ya mau gimana lagi? Padahal aku udah yakin banget bawa," dustanya sambil berpura-pura menyesal.

"Sekarang gimana nasibku, Kak? Habis ini aku ada pelajaran fisika," keluh gadis itu yang mulai menangis. Reaksi Alysa menarik perhatian anak-anak di sana yang sedang bersantai.

Alvian yang merasa tak nyaman, membimbing Alysa keluar, dan mengajaknya duduk di depan kelas. "Udah, udah. Waktu istirahat kan masih ada. Coba kamu salin aja PR temen kamu di buku lain," saran Alvian sambil mengusap air mata Alysa.

Mendengar usulan Alvian, gadis itu berhenti menangis, tetapi bukan lantaran ide pemuda itu solutif, melainkan karena kesal. "Enteng banget nyuruh aku kerja dua kali! Harusnya Kakak tanggung jawab, dong!" cela Alysa ketus.

Pemuda menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Terus kamu mau aku bolos buat ngambil bukumu? Mana sempat, Lis? Percuma." Alysa memandang Alvian dengan kesal. Meski situasi ini menjengkelkan, ucapan Alvian ada benarnya.

Tanpa pamit, Alysa melangkah pergi dengan langkah menghentak-hentak meninggalkan pacarnya. Sesampainya di kelas, Alysa memeriksa dompetnya guna membeli buku tulis baru.

Sayangnya, uang gadis itu tak cukup. Alysa ingat bahwa kemarin uangnya digunakan untuk membayar belanjaan Alvian, dan sampai sekarang belum dikembalikan.

Frustasi dengan situasi ini, Alysa menunduk kesal ke atas meja. Ia bisa saja kembali ke kelas 10F dan meminta Alvian mengembalikan uangnya. Namun, jam istirahat akan segera berakhir. Menagih hutang pacarnya akan memakan waktu.

Alysa memeriksa tasnya dan mengeluarkan sebuah buku tulis. Buku itu sebenarnya ia peruntukkan untuk pelajaran BK. Keadaan yang mendesak membuatnya merobek sebagian halaman berisi catatan, supaya dapat digunakan sebagai buku fisika darurat.

"Ika, aku pinjem catatan fisikamu," pinta Alysa pada Ika yang sedang menonton video di hape bersama Desi.

Ika mem-pause videonya dan menoleh sepintas pada Alysa. Sambil mengeluarkan buku tugasnya, Ika bertanya, "Buat apa?"

Alysa menghela napas mencoba bersabar. "Buat kusalin. Bukuku diambil kak Vian," jelasnya supaya Ika tak bertanya lagi.

"Kok, bisa?" Kini Desi yang penasaran dengan masalah Alysa, tetapi gadis itu mengabaikan pertanyaannya dan fokus menyalin. Melihat Alysa sibuk, Desi kembali menonton drama bersama Ika.

Secepatnya, Alysa menyalin PR Ika. Sisa waktu istirahat yang mepet, membuat tulisan gadis itu yang biasanya rapi bercorat-coret di beberapa bagian. Siswi itu bahkan menggambar grafik tanpa penggaris guna mempersingkat waktu. Skill 'kepepet' betul-betul ia maksimalkan.

Bunyi bel masuk penanda jam istirahat berakhir, membuat Alysa makin senewen. Ika menoleh ke belakang melihat Alysa. "Tenang, Lis. Habis ini pelajaran sejarah dulu, baru fisika," hibur Ika.

Mendengar penuturan Ika. Alysa segera mengeluarkan buku catatan sejarahnya. PR meringkasnya kurang sedikit lagi. Secepatnya gadis itu langsung beralih mengebut PR sejarah.

"Sibuk banget, Lis," tegur Ratna duduk di sebelah Alysa tanpa permisi. Si pemilik bangku menoleh sepintas melihat Ratna. "Numpang duduk, aku sendirian," jelas Ratna, membuat Alysa mengizinkannya tanpa komentar.

Pak Septa—guru pelajaran sejarah kelas 10, melangkah masuk ke kelas dengan wajah berseri-seri. "Pagi jelang siang anak-anak. Gimana kabarnya?" sapa pria berumur 28 tahun itu.

"Baiikkk, Pak!" sahut teman-teman sekelas Alysa serempak.

Pak Septa memindai murid-murid di kelas tersebut. Dari semua anak, hanya Alysa yang tak menjawab sapaannya.

"Eh, kamu ngapain?" tegur Pak Septa yang tertarik dengan aktivitas gadis itu.

Alysa segera mengangkat kepalanya memandang pria itu. "Um ... ini, Pak. Saya lagi ngerapihin catetan," dalih Alysa seraya menutup buku dan menyodorkannya.

Pak Septa menerima buku itu. Ia tersenyum memandang corak batik pada pembungkus sampul. "Coraknya unik, kamu sendiri yang gambar?" puji Pak Septa sambil bertanya.

Alysa tersenyum. "Bukan, Pak. Temen saya yang gambarin. Itu dari kertas kalender, lho, Pak!" tunjuk Alysa.

Pak Septa membulatkan mata menatap Alysa. "Kertas kalender?"

Tio yang posisinya dekat Pak Septa mengacungkan bukunya. "Nih, Pak. Saya juga," ucap anak itu bangga.

Arman juga ikut-ikutan mengacungkan buku tulisnya. "Saya juga."

"Saya juga," sahut Ika menunjukkan buku tulisnya diikuti dengan Desi.

"Saya juga, Pak!" ucap Ratna tak mau kalah.

Serempak, murid-murid lain mengacungkan bukunya menunjukkan sampul kalender yang mereka tiru. Pak Septa menatap seisi kelas dengan terperangah, ia sama sekali tak mengira perbuatannya minggu lalu menginspirasi anak-anak kelas 10A.

Pria itu tersenyum semringah menanggapi 'keusilan manis' murid-muridnya. "Bapak sama sekali nggak ngira kalian bakal niru bapak," puji pria itu.

"Gabutnya Bapak berfaedah," celetuk seorang murid disertai gelak tawa.

Kemudian, Pak Septa kembali ke mode serius. "Baiklah anak-anak, tugas meringkas minggu lalu dikumpulkan. Hari ini kita ujian," ucapnya tegas.

Seluruh murid kompak mengumpulkan buku catatan mereka. Dalam hati, Alysa bersyukur masih sempat menyelesaikan tugasnya. Ditambah, aktivitasnya yang ngebut meringkas pelajaran, justru memudahkannya mengisi soal ujian.

"Alhamdulillah, sejauh ini lancar nggak ada masalah. Nggah tahu deh, nanti pas mapel fisika," keluh Alysa dalam hati, "mudah-mudahan nanti nggak ada masalah," harapnya cemas.

Ketika bel pergantian pelajaran berbunyi, para murid mengumpulkan kertas ujian mereka. Lalu, Pak Septa pamit dan digantikan oleh guru mata pelajaran berikutnya.

"Selamat siang anak-anak, hari ini Bu Farida belum masuk. Jadi, saya yang menggantikan," terang guru pengganti tersebut. Sambil memeriksa catatannya, wanita itu berkata, "ada materi fisika tambahan yang perlu dicatat."

Tanpa diduga, seorang murid menceletuk, "Lha? PR minggu lalu gimana, Bu?" Rupanya Ayu yang bertanya. Seketika semua mata tertuju pada gadis berkacamata itu. Terlebih Alysa yang merasa sebal karena PR-nya belum selesai.

Guru itu menanggapi dengan santai. "Oh, udah dikasih PR, ya? Baiklah, mari kita bahas soalnya satu per satu," putus wanita itu praktis. Lalu ia duduk dan membuka buku absen, tentunya dari absen teratas. "Aditio Indra Gemilang!" panggil wanita itu sambil mengedarkan pandangan. Tampak olehnya Tio maju dan menerima spidol yang ia sodorkan guna menjawab soal pertama.

"Mampus! Mampus!" Kembali Alysa ketar-ketir mengumpati kesialan yang akan menimpanya.

Bersambung

Next chapter: Daftar Hitam

Gimana chapter kali ini?
Jangan lupa vote dan komennya ya

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Where stories live. Discover now