#14 danau (Tian)

11 3 1
                                    

Beberapa tenaga medis membawa ranjang kakeknya Dey menuju sebuah ruangan dengan nuansa perpaduan antara putih dan coklat. Beberapa alat medis seperti oksigen dan infus melekat di tubuh kakek.

"Kakek mertua saya kenapa?" Tanya gue pada salah seorang perawat yang baru aja mau keluar.

"Kena stroke, mas". Ucap perawat itu lalu keluar. Dey mengambil tangan keriput kakeknya dan menciumnya dengan lembut.

Tatapan mata Dey melihat kakeknya yang sedang terbaring lemah. Gue memperhatikan mereka dari belakang. Sorot matanya Dey menandakan kalau perempuan itu takut kehilangan kakeknya. Gue gak tau gimana ceritanya kakek bisa terkena stroke, Dey juga gak cerita apa-apa sama gue. Waktu gue nikah kakeknya Dey masih sehat walafiat. Masih ketawa ketiwi sama saudara-saudara nya Dey yang datang waktu gue nikah. Gue tadi sempat nanya sama mamah mertua katanya beliau juga gak tau. Kakek selama ini menyembunyikan penyakitnya.

Gak lama kemudian mamah mertua masuk ke dalam ruangan.

"Gimana kondisi kakek?" Tanya mamah pada Dey.

"Belum ada perkembangan mah". Jawab Dey.

Kemudian mamah menepuk pundak gue.

"Tolong bawa Dey pulang, gih!" Ucap mamah dengan berbisik.

"Mamah aja yang pulang, Tian disini aja temenin Dey jagain kakek". Ucap gue.

"Kalian aja yang pulang! Mamah aja yang disini! Dey kayaknya lagi sakit, dia harus banyak istirahat ". Ucap mamah. Gue lupa kalau tujuan utama Dey kesini mau periksain perutnya yang sakit.

"Ya udah, aku sama Dey pulang". Ucap gue.

"Dey, ini udah malam, kamu sama Tian pulang aja, gih! Biar kakek mamah aja yang jaga". Ucap mamah sembari menepuk bahunya Dey pelan.

"Aku gak mau pulang, mah, aku mau disini aja sama kakek". Ucap Dey kekeh.

"Dhea Angelia Nabilah, pulang!" Rahang mamah mengeras. Matanya menyorot marah. Menandakan kalau mamah gak suka dibantah.

"Kita pulang dulu, ya, mah". Ucap gue.

"Kakek, besok Dey kesini lagi, ya. Kakek cepet sehat". Ucap Dey sembari mengelus puncak kepala kakeknya dengan lembut.

Motor ninja itu melaju kencang meninggalkan rumah sakit. Keheningan melanda suasana canggung diantara kami. Perempuan di belakang gue sedari tadi tidak mengeluarkan suara. Padahal yang pernah gue denger dari temen-temen seangkatannya Dey tipe orang yang membenci keheningan. Gue melirik wajah Dey lewat kaca spion. Wajah perempuan itu memerah, tatapannya kosong, serta angin malam yang memainkan rambut panjang gadis itu.

Motor itu berbelok ke arah yang bukan menjadi tujuan utama kita. Gue sengaja mau bawa Dey ke suatu tempat yang sering gue datangi dulu.

"Kak, kita mau kemana?" Tanya Dey.

"Udah ikut aja". Jawab gue. Lima belas menit kemudian kita sampai di sebuah taman yang sudah sepi karena sekarang sudah jam sepuluh malam.

Di taman itu terdapat sebuah danau yang mengalir serta sebuah jembatan kayu yang berdiri di atasnya. Lampu-lampu hias yang menerangi seluruh taman. Dan beberapa perahu bebek yang bersandar di pinggir danau. Dan ada sebuah patung air mancur yang berbentuk kuda.

Danau ini menyimpan banyak kenangan masa kecil gue. Tempat ini adalah tempat terakhir yang gue kunjungi bareng mamah sebelum pisah sama papah. Setelah mamah sama pisah gue selalu datang ke danau ini sendirian. Gue merasa tempat ini sangatlah tentram dan damai. Bukan hanya tempatnya yang adem tapi kenangan yang bikin gue pengen selalu datang ke danau ini.

"Kita ngapain disini kak?" Tanya dey yang entah sejak kapan udah berdiri di samping gue.

"Kita sebenarnya mau ngapain sih kak?" Tanya Dey.

"Kita disini aja dulu, sebelum pulang kita menikmati pemandangan dulu". Jawab kak Tian.

Gue sadar kalau Dey lagi menatap ke arah gue sekarang. Gue menoleh ke arah Dey dan menatap wajahnya yang sedang melihat ke arah danau. Wajahnya begitu cantik. Binar matanya tidak lagi sembab seperti di rumah sakit tadi. Lagi-lagi angin kencang memainkan rambut panjang gadis yang berdiri di samping gue.

"Dulu, kalau gue lagi sedih gue selalu pergi kesini". Ucap gue.

"Kakak lagi sedih ya?" Tanya dey. Gue menggelengkan kepala.

"Terus?" Tanya Dey.

"Gue cuman mau kenalin tempat ini sama Lo". Jawab gue.

Gue memang bukan lagi sedih sih gue cuman pengen ngenalin tempat ini biar Dey tau.

Matanya terpaku sama perahu bebek yang bersandar di pinggir danau. Perahu bebek itu mengingatkan gue akan kenangan masa kecil gue. Dulu waktu mamah sama papah belum berpisah kita sempat naik perahu bebek itu rame-rame. Ada kak Dian, ada gue, serta Juna, dan juga Jevan. Kita bercanda dan tertawa di atas perahu bebek itu. Tapi kini semuanya sudah berubah semenjak papah ketahuan selingkuh sama sekertarisnya yang sekarang jadi ibu tiri gue.

"Kak, aku pengen naik itu". Ucap dey sambil menunjuk ke arah perahu bebek yang bersandar di pinggir danau.

"Perahu bebek?" Tanya kak gue. Dey mengangguk pelan.

"Ya udah ayo". Ucap gue.

Gue menarik tangan Dey menuju perahu bebek yang bersandar tidak jauh dari tempat kami berdiri. Gak lupa gue juga membantu dia buat naik perahu bebek itu. Kami mengayuh pedal perahu bebek itu mengelilingi danau yang sepi. Hanya ada kami berdua di danau itu.

Diam diam gue memperhatikan wajah Dey dari samping. Bibirnya tersenyum lebar sampai giginya nampak dan matanya berubah bentuk menjadi bentuk lekungan bulan sabit seakan-akan dia lupa kalau perempuan itu habis menangis keras di pelukan gue tadi siang. Jari tangannya menyentuh permukaan air. Hawa dingin malam hari terus menusuk tubuh. Sementara Dey hanya memakai baju tipis yang bahkan tidak dapat menghangatkan tubuhnya sama sekali. Gue dengan inisiatif memberikan jaket denim yang gue pake ke Dey.

"Gue gerah, Lo aja yang pake". Ucap gue.

"Aku gapapa kak! Kakak aja yang pake". Ucap Dey kekeh.

"Pake!" Dey baru mau pake jaket itu setelah dipaksa.

Kita disini gak begitu lama. Cuman tiga puluh menit setelah itu kembali pulang ke rumah.

Setelah sampai di rumah kita berdiri di depan pintu kamar masing-masing.

"Kak".

"Hm?"

"Terima kasih untuk hari ini".

"Sama sama Dey".


we got married Where stories live. Discover now